IPOL.ID – Dalam kasus bos perabot Syafrin ditemukan meregang nyawa di kiosnya di kawasan Kanal Banjir Timur (KBT), Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) angkat bicara jangan melihat kasus anak berinisial KS, 17, yang membunuh ayah itu dari sisi tindak pidananya.
Kasus dugaan pembunuhan dilakukan KS terhadap ayahnya yang merupakan bos perabot di kawasan KBT, Pondok Bambu, Duren Sawit, dipengaruhi berbagai faktor.
Pada awak media, Komisioner KPAI, Dian Sasmita menuturkan, aparat penegak hukum perlu menelusuri ada atau tidaknya faktor-faktor yang mempengaruhi hingga KS membunuh Syafrin.
“Kita tidak bisa hanya melihat sempit hanya pada kasus itu saja, pidananya. Tapi perlu juga aparat penegak hukum melihat relasi kuasa, kemudian kekerasan berbasis gender,” ujar Dian di Jakarta, Selasa (25/6/2024).
KPAI secara umum dalam kasus kenakalan atau tindak pidana dilakukan anak, lanjut Dian, anak tidak serta merta langsung melakukan suatu perbuatan tanpa adanya pengaruh-pengaruh.
Melainkan ada rentetan situasi yang sebelum kejadian membentuk karakter, mental, dan perilaku anak hingga terjadi kasus kenakalan atau tindak pidana sebagaimana kasus KS.
“Ini perlu dipahami semua pihak yang menangani kasus. Sehingga penanganan dapat memenuhi keadilan restorative, keadilan yang memulihkan, bukan keadilan balas dendam,” paparnya.
Dian menjelaskan, faktor-faktor yang mempengaruhi anak dapat berasal dari lingkungan keluarga karena merupakan tempat terdekat anak bertumbuh kembang.
Kemudian lingkungan sosial meliputi pergaulan anak dan sekolah tempat mengenyam pendidikan, hal ini yang perlu diungkap aparat penegak hukum dalam penanganan kasus anak KS.
“Bagaimana pengasuhan anak selama ini itu sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Termasuk perilaku anak. Perlu dilihat ada situasi-situasi khusus apa yang mendorong anak,” tukas dia.
KPAI juga mendorong proses penanganan perkara dilakukan sesuai Undang-Undang (UU) Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012 untuk memastikan hak-hak KS selama proses hukum terpenuhi.
Di antaranya hak mendapat bantuan hukum sejak tingkat penyidikan hingga nantinya kasus bergulir ke tingkat penuntutan di peradilan, pendampingan psikologis.
“Kemudian ada pendampingan psikososial dari UPTD (perlindungan perempuan dan anak). Kemudian perlu dipastikan kalau anak masih sekolah, sekolahnya jangan sampai putus,” jelas Dian. (Joesvicar Iqbal)