IPOL.ID – Rangkaian tindak pidana keji pada kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat non aktif, Terbit Rencana Perangin Angin didapati oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Kami buat dua kategori, penganiayaan sedang dan berat. Ini semua korban, semua orang dalam kerangkeng itu mengalami kekerasan,” ungkap Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu pada wartawan di kantor LPSK, Rabu (9/3).
Edwin mengungkapkan, tindak pidana perdagangan orang, hingga penistaan agama yang melibatkan banyak pelaku mulai dari Terbit, pihak sipil, pegawai negeri sipil (PNS), hingga diduga oknum anggota TNI-Polri.
Berdasarkan investigasi oleh pihaknya, ada temuan tindak pidana di antaranya penyiksaan, penganiayaan, perbudakan, dan merendahkan martabat. Penganiayaan ringan seperti ditampar, ditendang, dipaksa tidur beralas daun hingga gatal, kepala diinjak, disiram air garam dan dibenamkan ke dalam kolam ikan.
Sedangkan untuk penganiayaan berat, dipukul menggunakan selang kompresor, kunci inggris, batu, palu, balok, tubuh korban diteteskan plastik yang dibakar, disundut rokok, serta disetrum.
“Ada banyak korban cacat. Ada jari tangan putus, dengan baja ringan dibakar kemudian ditempelkan ke dada. Jari dipukul pakai palu sampai jarinya terbelah,” bebernya.
Penyiksaan lain, ada korban mengalami pincang karena kaki dilempar ganco, empat gigi tanggal empat, jari kaki kanan dan kiri cacat karena didudukkan pada kursi besi, kemaluan disundut rokok.
Akibatnya belasan korban mengalami gangguan jiwa, stres. Setiap hari disiksa, diperbudak sebagai buruh dengan jam kerja nyaris 24 jam, dan diberi makan tidak layak.
Penyiksaan juga mengakibatkan sejumlah korban meninggal. Biadabnya lagi, sambungnya, ada jenazah dimandikan air kolam ikan oleh ‘pengurus’ kerangkeng dan dikafankan begitu saja.
“Sepanjang saya melakukan advokasi terhadap korban kekerasan selama kurang lebih 20 tahun, saya belum pernah menemukan kekerasan sesadis ini,” tegas Edwin.
Pernyataan Edwin sebagai pimpinan LPSK yang menangani perlindungan korban berbagai kasus tindak pidana. Mulai pidana umum hingga terorisme atas kejinya kasus Langkat bukan tanpa sebab.
LPSK menemukan adanya serangkaian perbuatan merendahkan martabat seperti dipaksa minum air kencing sendiri dan penghuni lain dipaksa melakukan hubungan sesama jenis.
“Jadi kedua korban disuruh berhubungan (seks), direkam. Dipaksa mengunyah cabai setengah kilogram. Sudah dikunyah, cabai itu dilumuri ke muka, dioles ke alat kelamin,” tandas dia.
Tak berhenti di situ, ada korban yang dipaksa menjilat kemaluan anjing, dipaksa melakukan lomba onani. Makan nasi yang sudah diludahi, seluruh tindakan biadab ini dilakukan oleh sejumlah pelaku.
Dalam hal ini LPSK mendapati kerangkeng dikelola ibarat Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Terbit merupakan Ketua, Wakilnya berinisial DW, belasan pembina, juga dua orang Kepala Lapas.
Bahkan ada sejumlah korban yang tidak ubahnya berperan sebagai tahanan pendamping (Tamping) pada Lapas resmi dengan tugas membantu ‘mengelola’ kerangkeng.
Tidak berhenti pada penyiksaan fisik, Kepala Biro Penelaahan Permohonan LPSK, Muhammad Ramdan menjelaskan, tim LPSK menemukan kasus penistaan agama dialami para korban.
“Ada larangan melakukan salat Jumat bagi (tahanan) Muslim dan Ibadah minggu bagi umat Kristiani. Kemudian larangan ibadah di hari besar. Menyuguhkan makanan haram bagi umat Muslim,” ulas Ramdan.
LPSK pun mendapati ada tindak pidana pembunuhan dialami tahanan pada kasus kerangkeng manusia di rumah Terbit. Tercatat pada tahun 2021 dengan inisial korban ASG. Di 2019, korban berinisial YD.
“Kedua korban tersebut hanya contoh atas kasus kerangkeng manusia yang hingga penanganan kasusnya belum jelas karena belum ada tersangka,” tutupnya. (ibl)