indoposonline.id – Kejaksaan Agung (Kejagung) dipertanyakan karena belum menyita aset tersangka yang tersimpan di luar negeri terkait perkara dugaan korupsi PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri). Padahal, penyitaan aset tersebut perlu untuk menutupi kerugian negara dari korupsi tersebut sebesar Rp23,7 triliun.
“Sangat perlu, karena cukup besar nilai aset yang dilarikan ke luar negeri itu,” ujar pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hajar kepada indoposonline, Minggu (18/4).
Kendati demikian, Fickar menyarankan, pengejaran aset tersangka di luar negeri perlu pendekatan kasus tindak pidana. Sehingga, kata dia, pengejaran aset tersebut bisa dibantu penegak hukum di luar negeri.
“Kalau pengejarannya hanya dengan pendekatan perdata merepotkan, karena pasti harus berperkara di pengadilan,” ujar akademisi Universitas Trisakti tersebut.
Sebelumnya, Kejagung mengungkapkan baru mendapatkan aset dari kasus Asabri sekitar Rp 4,4 triliun. Namun jumlah itu masih jauh dari total kerugian negara yang mencapai Rp 23,7 triliun.
Adapun aset yang disita sebesar Rp 4,4 triliun itu berasal dari ribuan hektare tanah, puluhan bus dan kapal, belasan lukisan emas, sejumlah perhiasan dan beberapa unit apartemen milik para tersangka kasus korupsi PT Asabri.
“Jadi untuk hitungan sementara asetnya total ada Rp4,4 triliun ya dari total kerugian negara ditaksir Rp23,71 triliun,” ujar Direktur Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejagung, Febrie Adriansyah kepada wartawan belum lama ini.
Diketahui, aset yang disita oleh korps adhyaksa itu didominasi dari tiga tersangka yakni, Direktur PT Hanson International Benny Tjokrosaputro, Direktur PT Jakarta Emiten International Relation Jimmy Sutopo dan Komisaris Utama PT Trada Alam Mineral (TRAM), Heru Hidayat. Ketiganya pun juga dijerat melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). (ydh)