IPOL.ID – Guna mendukung pemulihan sektor pariwisata, tahun depan pemerintah menyiapkan anggaran Rp9,2 triliun. Dari Dari total anggaran itu, Rp6,5 triliun merupakan belanja pemerintah pusat dan sisanya transfer ke daerah.
“Tahun ini pemerintah juga menyiapkan anggaran khusus pariwisata Rp7,67 triliun, di antaranya untuk program Bangga Buatan Indonesia Rp200 miliar dan stimulus perfilman Rp266 miliar,” beber Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam acara Rakornas Parekfraf, Senin (27/9).
Dia juga meminta kepada kalangan perbankan tidak ragu-ragu menyalurkan kredit, khususnya bagi sektor pariwisata. Hal ini penting demi mendukung pemulihan ekonomi domestik.
Disisi lain, Sri Mulyani memahami alasan perbankan cenderung enggan menyalurkan kredit ke sektor-sektor terdampak pandemi seperti pariwisata. Namun, dia menambahkan, pemerintah juga berupaya membantu pemulihan pariwisata dengan menyediakan sejumlah insentif.
“Hal ini untuk menciptakan kembali rasa percaya diri kepada dunia usaha terutama perbankan untuk mampu menyalurkan kreditnya lagi ke sektor yang masih dianggap berisiko besar akibat COVID-19,” kata Sri Mulyani.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada Juni 2021, kredit akomodasi-makanan minuman mampu tumbuh 6,0 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Sedangkan, kredit bank umum di periode yang sama hanya naik tipis 0,6 persen.
Pada 2019 industri pariwisata cukup bergairah dengan pertumbuhan kredit 10,1 persen, tertinggi dari dua tahun sebelumnya. Begitu virus corona mewabah pada awal 2020, pertumbuhan kredit akomodasi makan-minum langsung melambat 5,8 persen.
Meski demikian, raihan kredit pariwisata tersebut terhitung masih lebih baik dibanding bank umum. OJK mencatat, kredit bank umum tahun lalu justru terkoreksi 2,4 persen secara tahunan.
Namun, dari sisi tingkat kemampuan membayar yang ditunjukkan oleh rasio kredit macet (non-performing loan/NPL), kredit sektor akomodasi makan-minum tercatat memiliki NPL cukup tinggi, yakni 5,6 persen per Juni lalu. Angka ini jauh di atas rata-rata NPL bank umum yang mencapai 3,2 persen.
Tingkat risiko debitur pariwisata yang tinggi ini boleh jadi yang membuat sektor usaha tersebut bukan pilihan utama perbankan dalam penyaluran kredit. []