IPOL.ID – Penerbitan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) berdampak terhadap penyederhanaan jenis dan prosedur pelayanan publik.
Salah satunya perizinan berusaha bidang perumahan di daerah. Selain itu, terdapat juga perubahan nomenklatur Izin Mendirikan Bangunan) menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang memuat penetapan fungsi bangunan gedung.
“Acuan peruntukan lokasi bangunan gedung pun mengalami perubahan, yang semula berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota menjadi berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR),” kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Bangda Kemendagri Sugeng Hariyono melalui keterangannya, Jumat (11/2).
Ia menekankan, perubahan persyaratan perizinan yang lain adalah terkait pemanfaatan bangunan gedung yang semula dengan persyaratan laik fungsi diubah menjadi sertifikat laik fungsi.
“Jaminan kepastian dan kemudahan berusaha merupakan prasyarat dasar bagi setiap aktivitas investasi. Oleh karena itu, untuk meningkatkan investasi dan kegiatan berusaha di daerah, pelaksanaan penerbitan perizinan harus dilakukan secara lebih efektif dan sederhana,” tambahnya.
Menurutnya, hal inilah yang melatarbelakangi penerapan Online Single Submission-Risk Based Approach (OSS-RBA). Dengan pendekatan ini, proses dan persyaratan perizinan usaha akan disesuaikan berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha.
Terkait hal itu, sambung dia, sebagai upaya meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah, dilakukan penyederhanaan persyaratan dasar perizinan hingga menjadi tiga, yaitu Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), dan Persetujuan Lingkungan.
“Dalam rangka percepatan penerapan penerbitan PBG di daerah, perlu diciptakan iklim investasi yang kondusif. Namun secara umum, dalam penyelenggaraan perizinan berusaha di daerah masih ditemukan sejumlah permasalahan di antaranya, belum adanya penyesuaian nomenklatur kegiatan perizinan berusaha dalam rangka implementasi sistem (OSS berbasis risiko), dan belum disusunnya peraturan kepala daerah terkait pendelegasian kewenangan penyelenggaraan perizinan berusaha dan nonperizinan,” urai Sugeng. (ydh)