Selain itu, Fickar juga menilai, perbaikan sistem peradilan yang salah satu pilihannya memberikan gaji yang tinggi pada para Hakim Agung adalah gagal total. Karena perbaikan peradilan tidak cukup hanya dengan gaji besar. Ternyata dengan gaji besar, korupsi yang dilakukan oknum hakim diduga masih tetap jalan.
“Artinya harus ada pembinaan dalam bentuk lain, contohnya hukuman pemberhentian jika melanggar melanggar aturan,” tuturnya.
Lantas, Fickar menyinggung lemahnya kesadaran berbangsa Hakim Agung dan Hakim di MA. Pada umumnya sebagai bagian lembaga yudikatif, MA termasuk hakim di dalamnya seharusnya dapat menjalankan fungsi yang strategis, dengan menyelesaikan sengketa-sengketa di masyarakat.
“Dengan peristiwa (OTT) ini nampak kesadaran para hakim dalam berbangsa dan bernegara sangat lemah,” ketusnya.
Ditangkapnya oknum Hakim Agung Sudrajad Dimyati, lanjut Fickar, juga menunjukkan kegagalan lembaga peradilan atau hakim menjadi Dewa Keadilan.
“Seharusnya Hakim Agung sebagai hakim yang berada di puncak kekuasaan kehakiman tidak lagi tergiur dan memikirkan soal-soal yg bersifat materi, karena mereka sudah matang dan tua, yang seharusnya sudah tumbuh sebagai Dewa keadilan yang mumpuni,” lanjut Fickar.