IPOL.ID – Isu terkait hak-hak anak yang terlahir di penjara, hingga saat ini masih menjadi pembahasan yang hangat di masyarakat. Inilah yang coba diangkat dalam film dokumenter yang berjudul “Invisible Hopes” karya Lamtiar Simorangkir. Film ini berhasil menyabet Piala Citra dalam gelaran Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2021 sebagai Film Dokumenter Panjang Terbaik.
Dalam acara Diskusi Feminis dan Nonton Bareng Film Invisible Hopes “Suara Dari Balik Jeruji Penjara : Jangan Abaikan Kami..” yang diadakan oleh Pusat Studi Gender LPPM UKI, Rabu, 9 November 2022, Hulman Panjaitan, Wakil Rektor UKI Bidang Akademik dan Inovasi menyampaikan dalam sambutannya bahwa Universitas Kristen Indonesia (UKI) beruntung memiliki Pusat Studi Gender (PSG).
Untuk kesekian kalinya, PSG sudah melaksanakan kinerjanya khusus bisa memberikan pemahaman dan mencerdaskan terhadap persoalan-persoalan gender di Indonesia. Untuk kali ini, PSG bekerja sama dengan sutradara Lamtiar Simorangkir, mencoba mengangkat dan ingin memberikan solusi terhadap persoalan bangsa, khususnya yang dialami oleh perempuan pelaku tindak pidana, narapidana perempuan.
“Jika mengikuti isu-isu, dalam praktek kesekian kalinya diadakan untuk memberikan pemahaman dan mencari solusi, kontribusi dari berbagai pihak termasuk organisasi massa, lembaga-lembaga pendidikan, lembaga-lembaga advokasi maupun praktisi, dalam rangka persoalan yang topiknya tentang narapidana perempuan,” papar Hulman.
Hal semacam ini tak habis-habisnya disuarakan terus oleh Lamtiar. Nasib perempuan narapidana dan anaknya akan semakin terang. Ini merupakan momentum dimana akan ada rencana Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham merevisi UU Pemasyarakatan. Sebagai lembaga pendidikan tinggi, UKI memiliki tanggung jawab secara moral bagi perkembangan ilmu hukum khususnya, mengingat UU tentang permasyarakatan ini sedang direvisi atau di amandemen. Termasuk nanti tentang Peraturan Pemerintah tentang permasyarakatan.
Film Itu Berjudul Invisible Hopes
Invisible Hopes adalah sebuah judul film yang sangat sederhana, namun membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak untuk mewujudkanya. Demikian disampaikan Lamtiar Simorangkir, sang Sutradara sekaligus Produser film dokumenter yang sukses di ajang FFI 2021. Lamtiar bercerita, bagaimana dirinya dan teman-teman sesama film maker memiliki mimpi yang sama yaitu membuat film-film yang spesifik mengangkat isu-isu sosial dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran untuk edukasi dan jika diperlukan sebagai advokasi.
“Berangkat dari satu keilmuan yang sama, akhirnya kami sepakat untuk membuat film yang mengakat cerita-cerita atau persoalan-persoalan penting di masyarakat. Itu dimulai tahun 2016. Tahun 207 kita sudah produksi satu film pendek fiksi. Sebagai latar belakangnya kita buat fiksi, namun seiring proses pembuatannya, kami berpikir jika kita membuat film fiksi base true story dan akhirnya kita buat dalam bentuk dokumenter. Karena ini sesuatu yang sangat sedikit orang yang tahu dan ini adalah sebuah persoalan besar yang terabaikan,” tutur Lamtiar.
Satu hal yang ingin sampaikan dalam film Invisible Hopes adalah membuat hanya dengan satu judulnya yang sederhana tapi sulit sekali dilakukan namun yakin bisa tercapai dengan kerja sama semua pihak, bersatu.
Dari film ini, terselip sebuah kerinduan akan adanya perbaikan bagi narapidana hamil, terutama anak-anak yang harus dilahirkan dan dibesarkan di balik jeruji penjara. Film ini dibuat bukan dalam rangka menjelek-jelekan pihak tertentu, apalagi mencari-cari kesalahan pihak tertentu. Film ini menjadi alat diskusi bagi semua pihak dan bersama-sama untuk mencari solusi yang lebih baik.
Dari diskusi ini nantinya, diharapkan bisa mendapatkan masukan, tanggapan-tanggapan dari semua yang hadir. Dan hasilnya akan dibawakan ketika bertemu dengan pihak Kemenkumham atau dirjen Pas. Saat ini sudah ada 30 lebih lembaga, kampus yang melakukan diskusi seperti ini.
Rekomendasi Para Ahli
Dalam diskusi yang dipandu oleh Helen Diana Vida (Peneliti Pusat Studi Gender, Dosen Ilmu Komunikasi UKI), terungkap beberapa rekomendasi yang disampaikan oleh para nara sumber yang hadir. Seperti yang disampaikan Evi Deliviana (Peneliti Pusat Studi Gender, Dosen BK UKI), merekomendasikan adaya nursery program, dimana narapidana hamil mendapatkan ilmu serta skill mengasuh anak. Ini bisa dilakukan dengan adanya kerja sama antara Lembaga Permasyarakatan denga praktisi bidang psikologi maupun kesehatan mental sebagai mitra dalam pemberian layanan promotif dan preventif.
Rekomendasi lain disampaikan oleh Nanin Koeswidi (Advokat, Dosen Hukum UKI) yang menyampaikan bahwa diharapkan adanya penundaan pelaksanaan pidana penjara bagi perempuan hamil, karena mereka harus mendapatkan jaminan keamanan, mendapatkan gizi yang cukup bagi dirinya dan anak yang ada di dalam kandungannya. Penundaan pelaksanaan pidana penjara sebaiknya sampai melahirkan anak, kemudian lewat masa menyusui. Jika pun perempuan hamil dan melahirkan anak di lapas, maka harus diberikan sarana dan prasarana khusus perempuan hamil dan melahirkan, seperti ruang ruang khusus menyusui dan ruang ramah anak, toilet khusus ibu hamil, tersedianya fasilitas kesehatan seperti poliklinik beserta dokter, mendapatkan makanan bergizi dan vitamin untuk napi hamil dan anak yang dilahirkannya. (Yuli)