Di banyak kesempatan, penggarapan berbagai megaproyek di banyak negara berkembang seringkali didalangi oleh negara dunia pertama, baik dengan skema G to G atau B to B. Di Indonesia, proyek konstruksi dan konsultasi yang jelimet sudah hampir pasti dipegang oleh kontraktor atau konsultan asing. Statistik menunjukkan, dari top 100 perusahaan konstruksi dunia, yang bermain di tingkat internasional, 37 nya berasal dari Eropa, China 27, dan Amerika hanya 7.
Dan di Hambantota, masalah sebenarnya adalah lebih kompleks. Proyek Pelabuhan Hambantota adalah inisiasi pemerintah Sri Lanka, yang studi awalnya dikerjakan oleh konsultan dari Kanada. Peletakan batu pertama Pelabuhan Hambantota bahkan sudah dilaksanakan 7 tahun sebelum BRI diluncurkan.
Huru-hara Hambantota dimulai ketika Rezim Rajapaksa berambisi melaksanakan proyek gurem tersebut, terutama pada fase keduanya. Ibarat “botol bertemu tutup”, China mau hadir memberi utang.
Maka yang dapat dipastikan terjadi di Hambantota adalah perburuan rente. Selama berkuasa, Rajapaksa ditengarai menikmati cuan dari sederet proyek, mulai dari jalan raya, bandara, kota baru, hingga tower: Proyek-proyek akbar yang minim faedah. Beberapa proyek BRI di negara berkembang, kejadiannya juga mirip-mirip Ada semacam kecocokan, antara rezim korup dengan tawaran modal dari RRC.