Sang Paduka, Sultan Manshur Syah, berpendapat. Bahwa semua ini, tak mungkin dilawan tanpa persatuan.
Menariknya adalah, menurut sang sultan, kunci persatuan untuk negeri-negeri Islam yang sudah dipecah-belah oleh kafir penjajah itu hanyalah satu: yakni bersandar kepada satu-satunya pemimpin kaum Muslimin sedunia, Khilafah ‘Utsmaniyyah.
Inilah satu-satunya kunci yang menurut beliau, dapat menyatukan kata dan kekuatan para sultan dan raja di Asia Tenggara.
Maka, Sultan Aceh ini mengirim surat kepada Khalifah Abdul Majid I pada 8 Februari 1849 untuk memperbarui baiat Kesultanan Aceh. Dengan baiat inilah, Sultan Manshur Syah berharap dapat menjadi pemersatu perlawanan seluruh sultan Asia Tenggara di bawah naungan Khilafah ‘Utsmaniyyah.
Dalam surat tersebut, Sultan Manshur Syah mengatakan bahwa para pembesar dari Jawa, Bugis, Bali, Borneo, Palembang, dan Minangkabau telah mengirim surat ke Aceh. Dan dalam bahasanya sendiri, Sultan Manshur Syah mengungkapkan,
“Apabila bangkit perang orang Belanda itu, segala orang Islam pun bangkitlah melawan dia lagi memukul dia tiap2 negeri yang telah tersebut itu. Karena segala orang yang sudah diperintah oleh Belanda pada tiap2 negeri, semuanya menanti titah daripada Patik di negeri Aceh. Dan tantangan Patik pun menanti titah dan wasitah (daripada) duli hadrat yang di negeri Rum (Istanbul).”