IPOL.ID – Kejaksaan Agung kembali menolak permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice). Kali ini melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana, Kejaksaan Agung menolak permohonan restorative justice untuk tersangka Tup Bahrudin bin Sobri.
Tup Bahrudin merupakan tersangka dalam kasus dugaan pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP) atau perampokan asal Kejaksaan Negeri (Kejari) Lampung Selatan.
Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana mengungkapkan, terdapat sejumlah alasan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif untuk tersangka Tup Bahrudin ditolak oleh Jampidum.
“Dikarenakan perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan tersangka bertentangan dengan nilai-nilai dasar Peraturan Kejaksaan RI No 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif,” kata Sumedana di Jakarta, Selasa (1/11).
Berdasarkan Peraturan Kejaksaan RI No 15 Tahun 2020, kata Sumedana, penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dapat diberikan dengan sejumlah alasan.
Di antaranya telah dilaksanakan proses perdamaian antara tersangka dengan korban. Artinya, tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.
Alasan lainnya, tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan perbuatan pidana serta ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun.
Tersangka juga berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya dan proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
“Sehingga tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar,” kata Sumedana.
Kendati demikian, penghentian proses penuntutan berdasarkan keadilan restoratif itu juga harus mempertimbangkan alasan sosiologis dan masyarakat merespon positif.
“Jika seluruh persyaratan telah dipenuhi, maka Jampidum dapat langsung memerintahkan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) yang bersangkutan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2),” pungkas Sumedana.(Yudha Krastawan)