IPOL.ID – LAKON Indonesia menggelar pameran Lorong Waktu The Instalation yang menampilkan keindahan syarat akan kelestarian budaya Indonesia. Kolaborasi dilakukan dengan menggandeng seorang arsitek (Mamo Studio) dan Dia Lo Gue.
Founder LAKON Indonesia, Thresia Mareta mengatakan, berangkat dari kelanjutan pagelaran Lorong Waktu yang dilaksanakan pada event JF3, 6 September 2022 lalu, kali ini LAKON Indonesia mengadakan pameran sebuah instalasi seni kolaborasi menggandeng Adi Purnomo disapa Mamo, seorang arsitek juga seniman.
“Pameran instalasi ini akan menjadi media tuk menyampaikan sebuah tujuan usaha pelestarian budaya,” kata Thresia kepada ipol.id di Ruang Seni Dia Lo Gue di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Jumat (18/11).
Sedianya pameran digelar mulai 18-27 November 2022. Awal kolaborasi ini, sambung dia, dari sebuah project TK Pahoa berkonsep hijau di tahun 2012.
“Dalam proyek ini kami mencari solusi natural yang meningkatkan kenyamanan penggunanya semaksimal mungkin menggunakan sumber daya natural dan konsumsi energi sangat rendah,” tutur dia.
Hasilnya membuahkan 7 penghargaan internasional. TK Pahoa dibangun mendidik semua pengguna termasuk semua tamu yang berkunjung untuk melestarikan lingkungan dan menghormati etika kehidupan.
Dia berharap, agar semua fasilitas yang sudah dipikirkan dan disiapkan seksama, para siswa memiliki pengertian lebih dalam mengenai hidup. “Hingga menjadi generasi baru yang dapat memberi kontribusi menciptakan dunia lebih baik. Demi kelangsungan hidup manusia,” tuturnya.
Dikatakannya, setelah 1 dekade bangunan itu disebut sebagai salah satu proyek sangat relevan pada masa sekarang oleh GBCI Indonesia. Bahkan pada interview dengan salah satu stasiun TV yang ditayangkan secara internasional pada Juni 2022, Clay Nesler, Ahli Sustainable Cities dari World Resources Institute, AS, melihat TK Pahoa sebagai sebuah percontohan masa depan.
Kolaborasi keduanya berlanjut pada “Pakaiankoe: A Journey to Java” digelar di ASTHA, Jakarta pada November 2020 dan “Gantari: The Final Journey to Java” digelar di Candi Prambanan, Yogyakarta pada Oktober 2021.
Karya Mamo dalam Pakaiankoe, setting hutan di tengah kota modern, sebuah gambaran mengenai pertalian manusia dengan alam yang tidak terpisahkan.
Instalasi bambu pada pagelaran Gantari sangat kolosal, kental akan identitas Indonesia. Membawa para undangan bukan menonton dari kejauhan tetapi membawa mereka masuk jadi bagian dari Prambanan.
“Kedua kolaborasi itu telah membawa pembaharuan pada presentasi mode di tanah air, berhasil mendorong pergerakan industri kreatif di masa pandemi melibatkan lebih 2.500 pelaku dari berbagai bidang,” ungkapnya.
Nah, lanjutnya, melalui Lorong Waktu The Instalation ini, menceritakan perjalanan pelestarian budaya yang berlangsung lebih dari 4 tahun, sebagai respon terhadap banyak hal tentang keseimbangan dan keselarasan. Menciptakan kemungkinan baru sebuah selasar mengantarkan menuju Teras LAKON.
“Teras LAKON ini diharapkan menjadi wadah dan laboratorium publik untuk mendorong upaya pelestarian budaya Indonesia. Menjadi tempat mengenal lebih dalam, mencintai identitas kita dan bersama-sama memelihara eksistensinya untuk jangka panjang,” tutur Thresia.
Teras LAKON sebagai wadah berbagai bidang ilmu melestarikan berbagai budaya. “Di situ akan ada koleksi kami dan sewaktu-waktu dapat dibuka seperti museum sebagai sarana berbagi pengetahuan, melestarikan warisan budaya Indonesia,” ucapnya.
Kemudian ada ruang sebagai pintu inkubator mendorong pelaku bisnis fashion masuk ke pasar bisnis global. “Selama ini Indonesia belum mempunyai tempat presentasi untuk dunia fashionnya dan itu belum ada. Nantinya itu ada di Teras LAKON,” ungkapnya.
Menurutnya, usaha melestarikan budaya tak bisa dilakukan sendiri dan butuh dukungan banyak pihak. “Harapan saya agar banyak orang dapat perhatian terhadap usaha pelestarian budaya ini. Jika budaya kita hilang terus kita ini siapa, makanya itu urgent dilakukan,” ajaknya.
Dalam kesempatan yang sama, Adi Purnomo, Arsitek (Mamo Studio) menjelaskan, melihat pameran ini semua ibaratnya seperti model memakai pakaian. Tetapi model itu hanya diam saja disitu dan ada beberapa jenis ornamen, warna yang pada akhirnya bisa membangkitkan perasaan yang lain.
“Membangun komoditas, komersial dengan seni. Karena filosofi LAKON tak hanya membangun bisnis saja,” kata Adi.
Jadi, sambungnya, koleksi yang ditampilkan ini sebagai kemungkinan diri mereka sendiri. Ditampilkan tak hanya ceritanya saja tapi impresinya dan tak hanya pakaiannya saja. “Sesederhana itu,” ucapnya.
Dia menjelaskan, sehingga karakter pakaian yang muncul sebagai keseluruhan. Sebuah kolaborasi untuk disampaikan ke audience bahwa ada cerminan kedua belah pihak berkolaborasi. “Saya menikmati prosesnya, membuat saya belajar sesuatu,” ucapnya.
Ketika ditanyakan soal pelestarian budaya? Adi melihat beberapa hal yang jadi garis bawah, ada fokus yang cukup dalam. Ternyata banyak sekali yang terputus dalam ekosistem di dunia fashion. “Dalam hal ini batik. Seperti tersekat-sekat. Nah, LAKON menyatukan itu semua,” ungkapnya.
Sementara itu, Engel Tanzil, owner Dia Lo Gue Art Space menambahkan, ke depannya LAKON bisa menjadi besar, dari sebuah ide tercetus ada proses panjang. Sehingga bisa menjadi sebuah cerita bagi anak-anak muda nantinya.
Seperti merepresentasikan aksen dan anak muda melihat budaya Indonesia jika diolah dengan sisi yang berbeda, dari cara berbeda menjadi satu ide, satu kesatuan seperti Bhineka Tunggal Ika, meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu juga.
“Harapannya, pameran Lorong Waktu ini dapat menggaet utamanya generasi muda agar tertarik pada budaya Indonesia,” tutup Engel. (Joesvicar Iqbal/msb)