2) Perintah pencabutan ini untuk menghindari tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau kemungkinan adanya tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan dengan instrumen hukum perpu itu. 3) Perpu yang dibuat secara sepihak oleh presiden, dengan konstruksi itu, diharapkan agar DPR dapat memainkan peran-peran signifikan secara konstitusional dalam fungsi “checks and balances” dalam rangka mendinamisir pemerintahan yang terbatas “limited government”.
Kebijakan mengeluarkan Perpu adalah Tindakan Constitution Disobedience terhadap Putusan MK
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja menggugurkan status inkonstitusional bersyarat yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah keliru dan tidak tepat.
Sebab, berdasarkan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang amarnya Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”; serta memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen; adalah mandat konstitusional yang dikirimkan oleh MK kepada Presiden dan DPR untuk melakukan perbaikan atas UU a quo, “Reasoning” secara konstitusional atas putusan ini tentunya sangat gamblang, sebagaimana telah dirumuskan pada putusan MK sendiri bahwa proses pembahasan UU Cipta Kerja melanggar prinsip-prinsip fundamental sebagai sebuah negara demokrasi konstitusional.