IPOL.ID – Sejarah perjalanan Pemerintahan Republik Indonesia (RI) memasuki usia ke-78 tahun. Dua hingga tiga kali mengalami pemindahan (relokasi) pusat pemerintahan negara atau Ibu Kota Negara (IKN).
Hal itu dikupas dalam kegiatan silaturahim kebudayaan bertema “Sinergitas Kekuatan Sosial Budaya Masyarakat dalam Pembangunan Ibukota (IKN) Nusantara” digelar Lembaga Kajian Tanamula Nusantara (LKTN) di Salihara Art Center, Jl. Salihara, No. 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (26/1) pukul 13.45 WIB.
Dewan Pengarah Lembaga Kajian Tanamula Nusantara, Dwi Cahyono mengatakan, berdasar survei awal LKTN, ada beberapa perencanaan harus dilakukan IKN dan daerah-daerah penyangga sekitar. Nah, ini melatari kenapa perlu ada lembaga pendampingan terhadap IKN yang kelak akan diberi nama Nusantara.
“Karena beberapa pertimbangan, pemilihan Daerah Penajam Paser Utara (PPU), Kecamatan Sepaku sebagai lokasi IKN terbilang singkat,” kata Dwi di Salihara Art Center, di Jl. Salihara, Pasar Minggu, Kamis (26/1).
Karena itu, sambungnya, walau IKN di PPU tapi daerah penyangganya merupakan area penting, seperti Jakarta dengan Jabodetabeknya, seperti itu kedepan. IKN telah lebih dari tujuh dasawarsa berada di Jakarta, ke depan akan dialihtempatkan ke Kalimantan Timur, di Kecamatan Sepaku, Kabupaten PPU.
Daerah-daerah penyangga meliputi Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Paser, Kota Balikpapan serta Kota Samarinda. Nama IKN mendatang “Nusantara”, suatu sebutan menyejarah di negeri ini. “Itulah titik nolnya IKN Nusantara ke depan,” kata Dwi.
Menurutnya, pemilihan PPU sebagai lokasi IKN relatif singkat baru 2 tahun sebelum masuk masa pembangunan. Penyiapan IKN di PPU tentu tak cukup membangun infrastruktur fisik namun simultan disertai menyiapkan lingkungan (ekologi), masyarakat (socio) dan budaya (cultural) (eko-sosio-kultura) adaptif terhadap serangkaian perubahan signifikan di PPU.
“Penyiapan eko-sosio-kultura di area IKN pasti membutuhkan waktu tak singkat, harus dimulai sekarang. Kami menggunakan tiga pendekatan eko-sosio-kultura sebagai tiga pilar secara simultan dibangun, disiapkan bersama pembangunan pada sektor fisik”.
Tahun 2013, ungkapnya, pembangunan sektor fisik berlangsung cepat, sementara pendampingan eko-sosio-kultura belum cepat pembangunan fisiknya. Suatu kondisi kurang baik apabila pembangunan sektor fisik tidak dibarengi pembangunan di sektor non fisik khususnya sosio-kultura.
“Kami memusatkan perhatian justru pada pendampingan di sektor sosio-kultura, sehingga pembangunan fisik bisa diadaptasikan warga sekitar dengan budaya sekitar agar laju pembangunan di PPU bisa diadaptasikan baik bagi warga sekitar,” terangnya.
Ke depan, IKN yang ada di PPU dan daerah penyangga akan terjadi perubahan sangat signifikan. Jakarta sebagai pusat pemerintahan sudah mulai dijadikan alternatif pusat pemerintahan semenjak VOC.
“Itu pun ternyata membutuhkan proses adaptasi panjang, paling tidak sejak Jakarta ditetapkan sebagai Ibu Kota RI. Ada proses panjang masyarakat sekitar Jakarta mengadaptasi dirinya Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan Ibu Kota RI,” ulasnya.
IKN proses penyiapannya singkat, sehingga adaptasi sosio-kultura masyarakat sekitar atas perubahan baru akan terjadi dan butuh adaptasi, sebagai pusat pemerintahan, perekonomian baru, budaya kerja baru yang tak hanya memiliki perubahan penting skala nasional maupun internasional.
Kedepan, di IKN dan daerah penyangganya akan berdatangan para pendatang baru dari berbagai tempat di Indonesia bahkan dari belahan dunia. Maka warga setempat perlu diedukasi, di dampingi untuk mampu adaptif akan perubahan baru secara cepat di IKN dan sekitarnya.
LKTN dibentuk untuk melakukan kajian-kajian, dipergunakan menyusun formula pendekatan tepat guna sehingga penyiapan sosio-kultura dari masyarakat setempat terhadap perubahan cepat bakal terjadi di IKN berlangsung tepat guna. Dan tidak terjadi perkembangan sektor fisik cepat maju dan berbagai aspek serba cepat sementara masyarakat terasingkan dan tereleminasi perkembangan baru.
“Kita berharap penguatan terhadap masyarakat dan budaya di IKN dan sekitarnya, masyarakat tidak terpinggirkan di wilayah pemukimannya sendiri,” katanya.
Ke depan juga semoga penempatan IKN membawa kebaruan, momentum baru, pergerakan ke titik nol di Kalimantan Timur. Terjadilah transformasi titik nol nusantara lama ke titik nol nusantara baru.
Langkah LKTN pada jangka pendek dan panjang, dia menjelaskan, dari eko-sosio-kultura, ketiganya perlu tersedia data base yang cukup. “Ini menjadi bahan penting menjadi keputusan tepat guna, tidak hanya data statistik sebagai bahan penting. Harus benar-benar dieksplore, sementara ini baru data rintisan”.
Guna memformulasikan pendampingan tepat guna, posisi mediator antara perancangan IKN dengan masyarakat setempat musti dijembatani. Guna menyiapkan perubahan terjadi agar tak terjadi kesenjangan akan perubahan baru yang sangat cepat.
“Memang ini perlu upaya keroyokan oleh berbagai pihak, tak hanya pemerintah daerah dan pusat saja,” tambahnya.
Sekretaris Lembaga Kajian Tanamula Nusantara (LKTN), Riansyah juga menyampaikan, satu tahun terakhir perhatian cukup tersita pada IKN. Namun kupasan pihaknya lebih banyak pada kajian arkeologis. Tahun 2022, sudah ada legitimasi politik melalui Undang-Undang. Diskusi pihaknya memperkuat ternyata ada legitimasi historis.
Menjadi tantangan legitimasi publik, kondisi masyarakat di sana tidak murni kosong, ada masyarakat adatnya. Barangkali perlu disondingkan bahwa IKN urusan bersama, bukan hanya pemerintah pusat dan daerah saja.
Perspektif apapun dari publik di ruang warung kopi perlu dimunculkan ke ruang publik. Apakah perspektif masyarakat adat, lingkungan, tanah agraria dan masyarakat sekitarnya. Sehingga pendekatan eko-sosio-kultura jadi pendekatan simultan, dapat dibawa ke ruang publik, mendiskusikannya lebih luas.
“Apapun catatannya barangkali agak pedas tetapi bermakna memperkuat posisi IKN, hampir semua setuju bahwa Ibu Kota Negara baru dibutuhkan,” tukas Riansyah.
Sehingga pihaknya bakal melakukan kerja, menyiapkan kajian, apakah itu bermakna atau tidak tapi jadi suara bersama. “Catatan kritis dalam suatu proses pembangunan itu sangat penting”.
Fasilitas fisik baru sebagai lingkungan buatan akan dihadirkan di IKN beserta daerah-daerah penyangga. Harus harmoni dengan lingkungan alam setempat. Dikenal mempunyai keanekaragaman hayati sebagai ciri khas hutan Kalimantan.
Harmonis dengan perbukitan maupun lahan basah (wetland) lantaran hujan tropis ada di sekitarnya. Penyiapan secara sosial perlu juga dilakukan terhadap warga sekitar area IKN, yakni warga di wilayah PPU serta daerah-daerah sekitar. Beruntung telah cukup lama hadir sebagai para pemukiman relatif multi etnik, terdiri atas etnik-etnik setempat dan etnik-etnik pendatang.
Ke depan, lanjutnya, kawasan IKN bakal berubah menjadi kawasan lebih multi etnik, malahan multi nation, sebagai konsekuensi logis atas posisinya sebagai pusat negeri. Masing-masing suku dan bangsa kelak berhuni di IKN membawa serta budayanya masing-masing.
Sehingga terbentuk kawasan pemukiman multi kultural (sebagaimana tercontoh di Jakarta). Warga setempat musti adaptif akan tata kehidupan baru, etos kerja baru bakal ditumbuhkembangkan di IKN.
Ke depan alih lokasi IKN ke PPU dan sekitarnya bakal membawa kemajuan baru, membangun Indonesia baru, dan menghadirkan sejarah baru dalam perjalanan panjang sejarah Nusantara.
Masyarakat Lokal Butuh Informasi
Sementara itu, Ronal J Warsa, Tokoh Pemuda Kutai Kartanegara menyikapi penting bagi warga masyarakat lokal mendapatkan informasi luas dan tidak terbatas. Informasi door to door sangat diperlukan. Perlu memperbanyak forum kebudayaan menyasar masyarakat ke bawah.
“Sehingga jangan ada miss komunikasi. Jangan membuat ke khawatiran ke warga masyarakat. Intinya kami Bhineka Tunggal Ika, harus gotong royong, mendayung bersama, membangun jiwa bersama dan ada kesetaraan, ini yang dibutuhkan di Indonesia membangun IKN,” harap Ronal.
Dalam giat tersebut, dilakukan Orasi Kebangsaan dan Pentas Seni Budaya Nusantara. Kemasan kegiatan menampilkan seni dan budaya sebagai pintu masuk utama. Mengedepankan keragaman budaya jadi kemasan pertunjukan, menggambarkan akan keragaman budaya nusantara.
“Apa yang terjadi di IKN dan daerah penyangga akan terbangun masyarakat yang beragam dan multination, harus ada pendekatan lebih halus, meneduhkan, pembangunan terus berlanjut, dan kedamaian bisa diwujudkan,” pungkasnya. (Joesvicar Iqbal/msb)