Oleh: Radhar Tribaskoro
Anggota Komite Eksekutif KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia)
IPOL.ID – Pada 2024 masa jabatan kedua Jokowi berakhir. Menurut UUD 1945 Jokowi tidak bisa maju lagi untuk periode ketiga. Apakah dengan demikian ambisi politik Jokowi berakhir?
Jokowi mengatakan bahwa ia akan pulang kampung ketika jabatannya berakhir. Namun lingkar kuasa Jokowi memiliki pendapat berbeda. Tidak berapa lama setelah Jokowi dilantik, sejumlah ketua partai dan menteri memunculkan wacana perpanjangan masa jabatan. Perpanjangan itu dapat diraih bila Jokowi dimungkinkan untuk maju lagi sebagai capres/cawapres 2024. Kalau hal itu tidak mungkin jabatan Jokowi dapat diperpanjang bila ada krisis konstitusional, misalnya bila pemilu 2024 gagal dilaksanakan. Krisis tersebut dapat dipergunakan untuk menjadi dalih bagi Amandemen Kelima UUD 1945 atau dekrit presiden.
Namun sebelum kita meninjau kelayakan kedua opsi di atas, kita akan membahas motivasi dari perpanjangan jabatan presden.
Motivasi Perpanjangan Jabatan Presiden
Sponsor dari gagasan perpanjangan masa jabatan, mudah diperkirakan, adalah lingkar kuasa BMB (Benny Murdani Boys). Lingkar kuasa ini merasa tujuan mereka untuk ‘memoderasi Islam’ belum selesai, mereka masih membutuhkan Jokowi untuk memantapkan posisi mereka yang masih goyah.
Selain itu oligarki ekonomi yang bernaung di bawah kepak sayap lingkar kuasa ini juga merasa kepentingannya belum tercapai. Setelah generasi mereka berhasil menguasai ekonomi, mereka berharap agar anak dan keturunan mereka memiliki peluang untuk mendominasi dunia politik. Penguasaan politik adalah bagian utama dari strategi mempertahankan kekayaan yang secara kontinyu telah mereka jalankan sejak jaman Orde Baru (Winters 2013,Winters 2021).
Itu alasan mereka membentuk dan menyokong Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Mereka berharap partai itu nanti bisa menjadi kendaraan bagi anak dan keturunan mereka yang ingin berkecimpung dalam politik. Sayangnya, partai itu masih berada dalam tahap formatif. Partai itu masih membutuhkan asuhan.
Di dalam dua kepentingan di atas, ‘moderasi Islam’ dan ‘mempertahankan kekayaan’, peran Jokowi adalah sentral. Jokowi adalah presiden yang memberi akses luas kepada lingkar kuasa ini untuk mendapatkannya kepentingannya. Mereka ingin terus menguasai akses itu, oleh karena itu, mereka sangat berkepentingan dengan perpanjangan masa jabatan Jokowi.
Waktu mereka pendek untuk memberi asuhan terakhir kepada anak-keturunan mereka. Sebagian besar oligar yang menguasai sebagian besar perekonomian Indonesia itu, telah melampaui usia 70. Mereka berharap, perpanjangan jabatan Jokowi akan menjadi kado terakhir untuk anak-cucu mereka. Kado yang akan dibayar berapapun harganya.
Mereka tidak bisa menanggung resiko terpilihnya presiden baru yang tidak mereka kenal. Terlebih lagi mereka tidak bisa menerima bila presiden baru tersebut adalah Anies Baswedan. Anies adalah ikon Islam yang sangat mereka takuti. Kemenangan Anies dapat menimbulkan backwash effect yang menghapuskan seluruh investasi mereka di dunia politik selama ini.
Amandemen dan Dekrit Presiden
Amandemen adalah proses hukum yang terbuka, ada standar operasinya. Walau Jokowi telah berpengalaman memby-pass standar operasi pembuatan undang-undang, tetapi proses amandemen konstitusi pasti akan menjadi perhatian besar publik. Jokowi mungkin bisa memperoleh dukungan DPR, DPD dan MPR karena perpanjangan masa jabatannya berarti memperpanjang masa jabatan semua. Tetapi bagaimana menenangi hati publik yang menganggap perpanjangan itu sebagai ‘egoisme politikus kontemporer’ dan/atau ‘pengkhianatan politikus terhadap kedaulatan rakyat’?Adakah cara lain kecuali amandemen?
Selain amandemen konstitusi, dekrit presiden dapat menjadi opsi perpanjangan masa jabatan. Masalahnya, dekrit presiden hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat. Lantas siapa yang menentukan keadaan darurat?
Di negara-negara demokrasi, keadaan darurat yang mendorong negara mendeklarasikan perang, misalnya, harus diputuskan oleh lembaga legislatif. Keadaan genting atau memaksa berada sedikit d ibawah kondisi keadaan darurat itu, namun untuk memastikan kondisi itu, tetap presiden harus berkonsultasi dengan lembaga legislatif, sebelum membuat kebijakan.
Dekrit presiden adalah kebijakan yang dibuat tanpa presiden berkonsultasi dengan DPR. Dekrit ini biasanya terjadi ketika Presiden berseberangan dengan DPR sehingga tidak mungkin keduanya bekerja sama. Dalam situasi deadlock seperti itu dapat saja presiden mengambil langkah dekrit untuk mengatasi hambatan-hambatan konstitusional.
Dekrit presiden pernah dikeluarkan dua kali, di masa Presiden Sukarno dan Presiden Abdurachman Wahid. Kedua dekrit itu menetapkan keadaan darurat sebagai pendapat subjektif presiden. Hasilnya? Dekrit Presiden Sukarno dapat dikatakan berhasil, rakyat mendukung. Namun Dekrit Presiden Abdurachman Wahid gagal, TNI maupun Polri menolak menjalankan dekrit itu. Penolakan itu menyebabkan Presiden Wahid gagal mencegah pemakzulan dirinya.
Skenario Menuju Dekrit
Dari sudut pandang presiden, dekrit presiden adalah solusi paling efisien untuk memperpanjang masa jabatannya, walau hasilnya belum menentu. Namun apa subjek dekrit itu? Tentu lucu bila dekrit hanya menyangkut memperpanjang jabatan sendiri. Subjeknya mestilah berkenaan dengan krisis kenegaraan dan hanya dekrit yang bisa mengatasinya. Ini subjek yang mustahil di tengah klaim rejim atas ekonomi yang stabil dan tumbuh berkelanjutan.
Ketua DPD La Nyala Mattaliti memecahkan impossibility itu. Ia mengusulkan kepada presiden untuk mengeluarkan dekrit Kembali ke UUD 1945 Asli. Dekrit ini persis seperti dulu dilakukan oleh Presiden Sukarno pada tahun 1959. Untuk itu Ketua DPD menjanjikan dukungan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi (RM.id, 23 November 2022).
Artinya, bila dekrit ini keluar, suatu Sidang Umum MPR dapat dirancang untuk memilih Jokowi sebagai presiden, baik untuk masa jabatan terbatas atau penuh lima tahun. Setelah itu. dengan kuasa presiden semua jabatan hasil pemilu dapat diperpanjang, sementara presiden dapat menetapkan jadwal pemilu baru sesuka hatinya. Jokowi bisa berkuasa selama ia inginkan, karena UUD 1945 asli tidak memiliki pasal yang membatasi masa jabatan presiden.
Untuk mewujudkan rencana itu ada dua persoalan teknis. Pertama, apa argumen turunnya dekrit, apakah ada kejadian nyata yang bisa menyebabkan negara jatuh ke dalam krisis konstitusional? Kedua, apakah ada dukungan cukup agar dekrit tersebut berhasil?
Krisis konstitusional bisa diciptakan bila pemilihan umum yang dijadwalkan berlangsung tahun 2024 gagal diselenggarakan. Pada saat itu negara boleh dikatakan lumpuh karena fungsi-fungsi eksekutif dan legislatif tidak berjalan. Cara tercepat dan paling efisien untuk memulihkan diri dari krisis itu adalah kembali ke UUD 1945. Dengan konstitusi itu presiden baru bisa ditetapkan hanya oleh segelintir elit politik di pucuk kekuasaan.
Adapun kegagalan penyelenggaraan pemilu 2024 dapat diusahakan dari dua hal, yaitu (1) terjadinya krisis ekonomi 2023 dan (2) krisis integritas penyelenggara pemilu. Kedua krisis itu secara bertahap sedang diwujudkan. Jokowi dan Menteri Keuangan berulang kali telah mengkondisikan persepsi publik bahwa “tahun 2023 keadaan ekonomi dunia berat”, “dunia sedang menuju resesi”, “Indonesia akan terdampak oleh resesi dunia”, dan “Indonesia akan mengalami stagflasi, yaitu keadaan dimana inflasi tinggi datang bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang menurun”.
Stagflasi adalah krisis ekonomi yang pernah terjadi tahun 1930an, disebut malaise (lelah, tidak nyaman-red). Dan perlu saya sampaikan bahwa argumen stagflasi telah dijadikan pertimbangan pada dikeluarkannya Perppu No.2/2022 tentang Cipta Kerja. Dengan kata lain, bila perppu di atas tidak mendapat penolakan publik, kubu BMB telah siap untuk mempergunakannya kembali dalam argumen Dekrit Presiden Kembali ke UUD 1945 Asli.
Lepas dari itu krisis integritas penyelenggara pemilu (KPU) pun sekarang dalam proses developing. Integritas penyelenggara pemilu sekarang dalam masalah besar. Ketua KPU Hasyim Asyari sekarang berada sedang menghadapi tiga tuduhan.
Pertama, ia dituduh melakukan tindakan tidak bermoral kepada Hasnaeni Ketua Umum Partai Republik Satu. Kedua, ia dan beberapa komisioner lainnya telah disangkakan campur tangan dalam lulus dan tidak lulusnya verifikasi faktual partai politik.
Dan ketiga, ia dituduh tidak lagi independen karena berwacana mendukung PDIP dalam penerapan sistem proporsional tertutup, berhadapan langsung dengan delapan partai lainnya yang tetap menghendaki penerapan sistem proporsional terbuka. Bila Hasyim Asyari dan komisioner dinyatakan bersalah maka muncullah krisis kepercayaan terhadap penyelenggaraan pemilu 2024.
Kedua krisis di atas dapat dipergunakan untuk menggiring partai-partai politik dan ormas-ormas besar untuk menyatakan perlunya penundaan pemilu. Dengan dalih merespon pernyataan bersama itu Jokowi dengan tenang akan meratifikasi Dekrit Presiden. Dekrit tersebut setidaknya akan terdiri dari dua butir pernyataan, yaitu mengafirmasi krisis ekonomi dan krisis integritas yang mendasari perlunya penundaan pemilu. Kemudian mendeklarasikan dipergunakannya kembali UUD 1945 Asli sebagai konstitusi.
Keberhasilan Dekrit Presiden itu akan ditentukan seberapa jauh partai-partai politik mendukung. Perpanjangan masa jabatan mungkin penawaran yang menarik bagi anggota-anggota dewan terpilih. Tetapi elit partai membutuhkan lebih dari itu. Sebagian akan bertekuk lutut kepada tawaran uang, namun sebagian yang lain memiliki mimpi menjadi pemimpin negeri. Dalam hal ini, tidak terhindarkan, akan terjadi powerplay yang akan menentukan nasib politik Indonesia.
Powerplay Menuju Dekrit
Isu perpanjangan masa jabatan Jokowi melibatkan powerplay antara elit politik yang sangat masif. Kubu BMB (dengan oligarki di dalamnya) mengerahkan semua pengaruh dan menjalankan semua taktik untuk menyukseskan rencana itu. Sementara itu, Jokowi selalu mengatakan ia tidak terlibat dalam rencana tersebut tetapi selalu menolak menghentikannya dengan alasan bahwa rencana itu adalah bagian dari wacana demokrasi.
Sudah barang tentu rencana perpanjangan jabatan itu bukan berbentuk wacana lagi. Rencana itu sudah berjalan dan sudah banyak sekali tindakan untuk mewujudkannya. Kalau menteri-menteri, ketua-ketua partai, ketua DPD dan Ketua MPR telah melontarkan gagasan itu di publik, tentu telah ada diskusi mendalam yang mendahului.
Tegasnya, apa yang sekarang terjadi adalah sekadar upaya untuk mengondisikan rakyat agar menerima gagasan itu. Di luar pernyataan-pernyataan politik suatu pertarungan politik sedang berlangsung.
Nasib dekrit yang skenarionya telah disampaikan di atas tergantung kepada lingkar kuasa Jokowi lainnya, yaitu partai politik. Bagaimana respon partai politik?
Partai politik secara diam-diam telah merancang suatu platform atau sistem politik dimana kontestasi politik berlangsung seperti arisan, akhirnya semua mendapat bagiannya masing-masing.
Sistem ini terdiri dari pertama, konstruksi sembilan partai. Sejak 2004 sampai sekarang panggung politik telah terdiri dari sembilan partai saja. Dengan konstruksi ini prioritas partai politik adalah bekerja sama dan memelihara segmen konstituen masing-masing.
Kedua, kesembilan partai itu menyepakati klausul 20 [ersen presidential threshold untuk menghalangi “orang-luar” memasuki arena. Dengan demikian jabatan presiden akan ditentukan oleh para elit yang menguasai sembilan partai yang ada. Rakyat bebas memilih tetapi terbatas kepada stok yang ada saja.
Mereka merancang kekuasaan berputar sebagai “arisan” di antara elit partai: persaingan di antara elit yang dimenangi oleh elit, dengan sedikit kompensasi bagi yang kalah. Siapapun pemimpin terpilih akan mendapatkan hadiah yang sangat luar biasa: mereka akan berkuasa tanpa gangguan DPR. Atas nama stabilitas, DPR dirancang untuk tidak lagi kritis. Dapat dibilang, DPR akan sepenuhnya mendukung presiden.
Kesembilan partai-politik sekarang memandang figur Jokowi sebagai anomali. Jokowi dianggap bukan berasal dari elit partai politik, dan sekarang sedang mendesakkan perpanjangan masa jabatan untuk dirinya. Mereka juga tahu bahwa Jokowi sedang membangun basis kekuasaan melalui organisasi relawannya, dan dengan dukungan kubu BMB (oligarki) dalam jangka pendek dapat menjadi kekuatan politik yang sangat besar.
Alhasil dukungan jangka pendek mungkin masih memberi keuntungan namun dalam jangka panjang kekuatan besar yang sedang dibangun Jokowi akan merusak basis konstituen yang mereka miliki.
Namun menolak keinginan Jokowi juga bukan hal mudah. Jabatan menteri mungkin tidak dianggap penting lagi, toh kuasa Jokowi tinggal 1-2 tahun. Tetapi bagaimana kalau penolakan itu memicu eksploitasi atas sejumlah kelemahan pada pribadi politisi terkait?
Padahal elit partai politik telah mempersiapkan diri dengan sangat baik. PDIP adalah partai yang paling stabil dan berada di bawah kepemimpinan kharismatis, sangat sulit dipikirkan tidak mencalonkan Puan Maharani. Puan adalah cucu proklamator Bung Karno dan memiliki pengalaman politik berpuluh tahun. Ia sepertinya tidak tahu cara berkomunikasi dengan publik, tetapi jelas, ia tahu cara memerintah.
Sementara itu, Partai Gerindra akan melakukan apapun agar bisa mencapreskan Prabowo Subianto. Golkar, PAN dan PPP tidak tinggal diam, mereka menyiapkan diri dengan membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Di sisi lain Nasdem beruntung karena memiliki kepemimpinan out of the box, yang secara tidak terduga mencapreskan Anies Baswedan. Nasdem rencananya akan didukung oleh Demokrat dan PKS. Dengan demikian, partai-partai politik di DPR telah siap berkontestasi di Pilpres 2024 dengan 4 paslon.
Namun. rencana partai-partai politik tersebut terancam berantakan oleh skenario perpanjangan masa jabatan presiden. Di bawah permukaan telah terjadi showdown yang intens antara kubu BMB+oligarki melawan kubu parpol, keduanya selama ini merupakan power circle Jokowi.
Pada saat ini telah muncul generasi baru pemimpin partai politik, seperti Puan Maharani, Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, dan Agus Harimurty Yudhoyono. Tokoh-tokoh pemimpin muda itu telah berada di titik terbaik menuju puncak karir politik. Apa yang bisa ditawarkan Jokowi agar mereka menerima tawaran Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 Asli? Padahal tidak ada pembatasan masa jabatan presiden pada konstitusi lama yang dihidupkan kembali itu. Saya kira tidak ada tawaran apapun yang bisa diterima, bila harus mengorbankan masa depan politik pemimpin-pemimpin muda.
Bagaimana bila Jokowi berjanji hanya akan berkuasa beberapa tahun saja dan tidak akan ikut pilpres baru? Kalau dengan kuasanya sekarang Jokowi berhasil mematahkan sumpahnya kepada konstitusi, tidak ada jaminan bahwa ia tidak akan melakukan hal yang sama dengan janji-janjinya yang lain.