Yunus menegaskan, kekurangan system pemilu proporsional tertutup yaitu adanya pengkondisian mekanisme pencalonan kandidat wakil rakyat yang tertutup. Selain itu, akan menguatnya oligarki dan nepotisme di internal partai politik dan terbukanya potensi politik uang di internal partai dalam bentuk jual-beli nomor urut.
“Sekali lagi Melihat kekurangan kekurangan tersebut Sebaiknya MK menolak uji materi UU Pemilu. Saat ini, menyongsong pesta demokrasi terbesar Indonesia, memang Konstitusi kita tidak mengatur tentang sistem pemilu, apakah proporsional terbuka atau tertutup. Karena itu, penentuan sistem pemilu sebaiknya tidak diserahkan ke MK, karena tidak ada isu konstitusionalnya,” ungkapnya.
“Untuk mereka yang mengusulkan sistem proporsional tertutup, baca pasal 22E ayat (2): Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPRD, Presiden, Wakil Presiden, dan DPD. Sekali lagi, MEMILIH ANGGOTA DPR, bukan memilih Partai Politik,” tambahnya.
Lebih lanjut, kata Yunus, pemilihan sistem proporsional terbuka atau sistem proporsional tertutup seharusnya menjadi kewenangan penuh dari pembentuk UU: Presiden dan DPR atau disebut Open Legal Policy (OLP) pembentuk UU itu. Sehingga, ucapnya, MK jangan mengambil alih kewenangan law maker karena penyelenggara pemilu harus fokus menyelamatkan hak-hak konstitusi rakyat.