Oleh: Azas Tigor Nainggolan
Ketua FAKTA Jakarta
IPOL.ID – Baru-baru ini Biro Pusat Statistik (BPS) Jakarta mengeluarkan hasil penelitian tentang kemiskinan di Jakarta. Salah satu hasil penelitian yang bikin heboh adalah yang dilakukan di kawasan Kampung Apung, Jakarta Barat dan kawasan Nelayan di Cilincing, Jakarta Utara.
Menurut penelitian di kedua wilayah tersebut BPS Jakarta menemukan adanya warga dalam kemiskinan ekstrim dengan penghasilan Rp11 ribu per hari atau di bawah Rp 500 ribu per bulan.
Data terbaru BPS, angka kemiskinan ekstrem di Jakarta mencapai 0,89 persen pada Maret 2022. Angka tersebut naik 0,29 persen jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan ekstrem pada tahun sebelumnya, yakni 0,6 persen. Sebelumnya Kepala Bagian Umum Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, Suryana mengatakan indikator seseorang dikategorikan miskin ekstrem adalah jika pendapatan per hari mereka berada di bawah Rp11.633 rupiah atau beberapa karakter penduduk miskin ekstrem. Karakter itu antara lain mayoritas Kepala Rumah Tangga lulusan SMA dengan rata-rata usia 45,5 tahun dan kondisi perumahan ada yang belum layak, luas lahan per kapita di bawah 8 meter persegi.
Hasil penelitian BPS Jakarta yang mendapatkan adanya kemiskinan ekstrem di kawasan Kampung Apung, Jakarta Barat dan kawasan Nelayan di Cilincing, Jakarta Utara ini mendapat tanggapan publik. Salah satu tanggapan atas hasil penelitian BPS Jakarta tentang adanya kemiskinan ekstrem dari aktivis Peduli Jakarta, Melny Nova Katuuk. Aktivis Peduli Jakarta itu menyampaikan bahwa hasil penelitian yang dilakukan di kawasan Kampung Apung, Jakarta Barat dan kawasan Nelayan di Cilincing, Jakarta Utara, pihaknya belum menemukan adanya warga dengan penghasilan Rp.11ribu per hari atau di bawah Rp500ribu per bulan. “Sejauh ini belum menemukan warga dengan kategori berpenghasilan Rp.11ribuan per hari. Banyak masyarakat miskin, tapi bukan miskin ekstrem karena dari beberapa sumber mengatakan penghasilan mereka masih di atas 2 juta/bulan,” jelas Nova kepada media (Selasa 14/2/2023).
Membaca hasil penelitian BPS Jakarta yang dilakukan di kampung dan menyatakan tentang ditemukannya warga dalam kondisi miskin ekstrim. Secara pribadi, saya mempertanyakan secara khusus cara mendapatkan datanya di kampung? Menurut pengalaman saya bahwa penelitian di kampung, biasanya yang menjalankan adalah kader-kader warga yang diorganisir oleh Kelurahan. Nah kalo disuruh lakukan survei atau pengumpulan data, saya mendapatkan informasi para kader itu hanya menyalin data keluarga dari para RT. Para kader itu tidak datang ke rumah dan bertemu langsung dengan warga target penelitian.
Sementara data yang dimiliki para RT itu data lama dan para kader warga ini sering tidak mengetahui perubahan kekinian hidup warga di kampung. Misalnya warga yang sudah alami perkembangan ekonomi akan tetapi dalam catatan ketua RT setempat terus dicatat sebagai warga miskin karena datanya tidak pernah diperbaharui secara rutin. Sering kali juga warga lebih suka dicatat atau tercatat sebagai warga miskin mendapatkan bantuan sosial (Bansos).
Akibatnya warga yang benar-benar miskin seringkali juga tidak mendapatkan bantuan dari Pemda Jakarta karena mereka tidak terdata sebagai warga miskin di data Ketua RTnya. Tidak tercatat sebagai warga yang berubah jadi warga miskin karena data warga di Ketua RT tidak atau jarang diperbaharui. Ada juga warga sudah wafat tetap ada sebagai warga hidup dalam catatan data ketua RT sehingga warganya yang miskin sudah meninggal dunia tetap tercatat mendapatkan bantuan. Kalo para pengumpul data hanya mencatat dari data ketua RT tentu hasilnya penelitiannya tidak akurat karena diambil dari catatan yang tidak diperbaharui.
Beginilah jadinya, warga lebih suka dianggap dan dicatat hidup dalam kondisi miskin dan akibat kesulitan hidup tapi karena data tidak valid sering tidak mendapatkan bantuan sosial (Bansos) dari pemerintah. Padahal banyak Bansos pemerintah seperti Bantuan Pangan Non Tunai, Bansos Pandemi, Bansos BLT, Bantuan Minyak Goreng, Bantuan Disabilitas, dan Bantuan Lansia sering salah sasaran. Bahkan terjadi di Jakarta jutaan paket bansos menumpuk jadi busuk seperti di Jakarta karena tidak disalurkan kepada warga yang membutuhkan.
Banyak penelitian di lakukan di kampung di Jakarta datanya kurang akurat karena mekanisme atau cara pengambilan datanya patut dipertanyakan. Melihat pengalaman di atas memang perlu pengawasan dan uji ulang hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan warga di kampung. Memang pertimbangannya, penelitian akan lebih baik dan akurat datanya jika penelitiannya melibatkan kader warga. Pelibatan kader warga karena dianggap lebih mengenal, menguasai dan mengetahui kondisi warga di kampung bersangkutan. Hasilnya akan baik dan akurat jika penelitian yang dilakukan disertai pengawasan lapangan oleh penyelenggaranya seperti BPS Jakarta.
Soal mekanisme pendataan yang dilakukan dalam penelitian yang dilakukan BPS ini, aktivis Peduli Jakarta, Melny Nova Katuuk mengatakan bahwa berdasarkan hasil investigasinya terhadap warga diketahui bahwa BPS melibatkan warga setempat sebagai mitra untuk pengambilan sampling data. Nova menyatakan juga bahwa BPS mengumpulkan data sesuai dengan kuesioner yang disiapkan BPS dan sudah dikerjakan oleh mitra BPS di lapangan. Sementara itu, para Mitra BPS memberikan kertas berisi pertanyaan kepada masyarakat. “Terkadang ada masyarakat yang tidak jujur tentang keadaan ekonomi. Misalnya, ada yang punya mobil, tapi nggak mau nulis kalau mereka punya mobil,” ungkap Nova .
Berarti penelitian yang dilakukan oleh BPS Jakarta ini dari sisi mekanisme penelitiannya masih patut dipertanyakan hasil data yang didapatkan dari lapangan. Fakta di lapangan ternyata perbedaan fakta dengan data yang dihasilkan oleh penelitian BPS Jakarta. Seharusnya BPS Jakarta secara kritis mempertanyakan dan menguji kembali dulu datanya ke lapangan sebelum dipublikasi. Diperlukan beberapa kali dilakukan upaya menguji kembali data lapangan oleh BPS Jakarta agar data yang didapatkan akurat. Belum diujinya kembali data didapat ke lapangan, tapi sudah langsung dipublikasi adalah kelemahan dan kesalahan dari kepala BPS Jakarta. Sebagai pimpinan BPS di Jakarta seharusnya mengetahui betul kebutuhan menguji kembali ke lapangan data yang sudah di dapat, agar data menjadi akurat. Nah data akurat itulah yang dipublikasi agar tidak membuat kekacauan dan kegaduhan di publik. (peri)