IPOL.ID – Penyidik pidana khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan konfrontasi terkait dengan penyerahan uang sebesar Rp27 miliar atau USD 1,8 juta oleh pengacara terdakwa Irwan Hermawan, Maqdir Ismail kepada Kejagung.
Konfrontasi tersebut dilakukan dengan memeriksa sejumlah saksi di Gedung Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Jumat (18/8).
“Konfrontasi atau pemeriksaan saksi dilakukan terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU), dalam penyediaan infrastruktur BTS 4G BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo),” kata Kapuspenkum, Ketut Sumedana di Jakarta.
Adapun sejumlah saksi yang diperiksa di antaranya, terdakwa Irwan Hermawan selaku Komisaris PT Solitech Media Sinergy, terdakwa Anang Achmad Latief selaku Direktur Utama BAKTI dan tersangka WP selaku orang kepercayaan terdakwa Irwan Hermawan.
Selain itu saksi MI selaku Pengacara, saksi HH selaku Pengacara dan Saksi DA selaku Pengacara.
“Tim jaksa penyidik memanggil tujuh orang saksi guna mendengar keterangan terkait asal usul dan status uang tersebut. Namun, satu orang saksi atas nama RYB tidak hadir memenuhi panggilan Tim Jaksa Penyidik,” ujar Sumedana.
Pengacara terdakwa Irwan Hermawan, Maqdir Ismail sebelumnya telah menyerahkan uang sebesar USD1,8 juta atau Rp27 miliar ke Kejagung, Kamis (13/7).
Namun asal usul pemberi uang terkait korupsi BTS Kominfo itu masih belum diketahui. Uang itu hanya disebut berasal dari seseorang berinisial S.
Direktur Penyidikan Jampidsus, Kuntadi menegaskan pihaknya akan melakukan penelusuran terhadap asal muasal uang tersebut.
Sebab pihaknya tidak bisa asal menerima uang lalu mengaitkannya dengan suatu perkara. Meski sudah diamankan oleh penyidik, namun kedudukan uang itu sebesar Rp27 miliar itu juga harus jelas.
“Asal-usul kedudukan uang ini harus kami buat terang, karena perlakuan dan dampak hukumnya beda-beda,” ucap Kuntadi.
“Status uang tersebut, apakah bisa digunakan untuk alat bukti, atau untuk memulihkan kerugian negara, atau malah sekadar barang temuan, karena dampak hukumnya jauh beda,” jelas Kuntadi.(Yudha Krastawan)