IPOL.ID – Money politics (politik uang) masih menjadi momok bagi was it pemilu di pileg 2024. Sayangnya, sistem dan regulasi yang diterapkan di negeri ini tergolong masih sangat lemah.
Anggota Bawaslu, Lolly Suhenty menyoroti semakin inovatif modus operandi politik uang setiap pelaksanaan hajat lima tahunan demokrasi di tanah air.
“Kenapa Bawaslu harus bikin soal IKP dengan spesifik isu adalah soal politik uang? Karena memang Bawaslu bertugas untuk mencegah terjadinya politik uang,” kata Lolly dalam Peluncuran Pemetaan Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 Isu Strategis Politik Uang.
Menurutnya, salah satu tugas Bawaslu adalah mencegah terjadinya praktik politik uang. Hal itu seperti tercantum dalam Pasal 93 huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Untuk itu, modus operandi politik uang yang beragam memerlukan fleksibilitas, adaptasi cepat serta strategi yang tepat agar Bawaslu mampu melakukan pencegahan secara maksimal.
“Oleh karena itu, pemetaan kerawanan, kemudian berupaya mencegah dengan mengelompokkan kerawanan dalam kategori modusnya apa, pelakunya siapa dan wilayahnya di mana,” ujarnya.
Lebih lanjut, berkaca dari penyelenggaraan Pemilu 2019 sampai Pilkada 2020, Lolly membagi modus politik uang ke dalam tiga bentuk. Money politik dilakukan dengan memberi langsung, memberi barang, dan memberi janji. Modus memberi langsung itu salah satunya berupa pembagian uang, voucher, atau uang digital dengan imbalan memilih.
“Yang nominalnya Rp20 ribu sampai Rp200 ribu. Murah ya? Padahal buat masa depan Indonesia,” tambah Lolly.
Lebih lanjut, ia menerangkan modus memberi barang antara lain dilakukan dengan cara pembagian alat ibadah, bahan bangunan, kompor gas, hadiah lomba, sampai alat mesin rumput. Sementara modus memberi janji berupa menjanjikan imbalan, uang, atau barang saat di masa tenang.
Lolly menyebutkan ada empat pelaku politik uang, mulai dari kandidat, tim sukses/kampanye, aparatur sipil negara (ASN), penyelenggara adhoc, simpatisan/pendukung.
Berdasarkan pemetaan Bawaslu, provinsi paling rawan dengan isu politik uang adalah Maluku Utara (100), diikuti empat provinsi di bawahnya, yakni Lampung (55,56), Jawa Barat (50), Banten (44,44), dan Sulawesi Utara (38,89).
Namun, jika dilihat berdasarkan agregasi tiap kabupaten/kota, Papua Pegunungan menjadi provinsi dengan tingkat kerawanan tertinggi politik uang. Sembilan provinsi di bawah Papua Pegunungan adalah Sulawesi Tengah, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Banten, Lampung, Papua Barat, Jawa Barat, Kepulauan Riau, dan Maluku Utara.
Kabupaten Jayawijaya, Papua, menduduki urutan pertama kabupaten dengan kerawanan isu politik uang paling tinggi, disusul Kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan di Sulawesi Tengah, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, dan Kabupaten Lampung Tengah, Lampung. (Sofian)