Heddy menambahkan, debitur acap kali berada dalam suatu posisi yang lemah di dalam suatu perjanjian fidusia karena adanya faktor kebutuhan, seperti pada kasus debitur yang ingin mengajukan kredit kendaraan bermotor.
“Tetapi di situ (perjanjian fidusia-red) tertulis bahwa kalau (debitur-red) gagal bayar saja maka dia (kreditur-red) bisa mengambil barangnya. Tetapi saya sampaikan di sini, tidak bisa seperti itu. Perjanjian fidusia walaupun baku harus diakta notarilkan. Tetapi di sini pun timbul lagi masalah baru karena akta notaril itu juga baku rupanya, sehingga saya usulkan di situ, ‘harus dilihat lagi, tidak bisa berbentuk baku. Sepakat dan cakap, karena kebebasan berkontrak itu harus ada di dalam perjanjian tersebut’,” ungkapnya.
Dari sisi sebagai pihak yang memberikan pendanaan, tambah Heddy, kreditur tentu membutuhkan pula rasa aman sehingga dana yang sudah dikeluarkan bisa kembali. Menurut Heddy, untuk itulah diperlukan suatu perjanjian fidusia atau perjanjian ikutan (accesoir), yakni perjanjian yang muncul setelah adanya perjanjian pokok.