IPOL.ID- Program Studi Doktor Hukum, Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia (PPS-UKI) kembali menggelar Ujian Terbuka (Promosi Doktor) dengan Promovenda Heddy Kandou, S.Kom., S.H., M.H. Ujian Terbuka Promosi Doktor tersebut diselenggarakan di Kampus PPS-UKI, Jl. Diponegoro, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu siang (13/9/2023).
Promovenda Heddy Kandou memaparkan disertasinya yang berjudul “Tanggung Jawab Negara Dalam Perlindungan Hukum Bagi Debitur Terhadap Risiko Pengakhiran Perjanjian Fidusia“, di hadapan Dewan Penguji yang diketuai oleh Rektor UKI, Dr. Dhaniswara. K. Harjono, S.H., M.H., M.BA.
Mendampingi Dhaniswara dalam Ujian Terbuka hadir pula Prof. Dr. John Pieris, S.H., M.H., M.S, selaku Sekretaris Sidang dan Promotor; Prof. Dr. M. S. Tumanggor, S.H., M.Si; Prof. Dr. Joni Emirzon, S.H., M.Hum, FCB.arb; Dr. Aartje Tehupeiory, S.H., M.H; Dr. Wiwik Sri Widiarty, S.H., M.H; dan Dr. Hulman Panjaitan, S.H., M.H.
Dalam latar belakang masalah yang disampaikan Promovenda Heddy Kandou dalam disertasinya, dipaparkan bahwa sebagai negara hukum, negara mempunyai tanggung jawab untuk memastikan bahwa hak-hak debitur memperoleh perlindungan hukum dari risiko pengakhiran perjanjian jaminan fidusia sesuai amanat UUD Negara Republik Indonesia 1945.
Promovenda juga mengungkap di penelitiannya seputar risiko yang dihadapi debitur sebagai akibat dari pengakhiran jaminan fidusia. Dari penelitian yang dirampungkannya, ditemukan fakta bahwa perjanjian pokok dan perjanjian jaminan fidusia mempunyai risiko terjadi pengakhiran perjanjian apabila perjanjian yang dibuat mengandung cacat kehendak maupun penyalahgunaan keadaan.
“Untuk itu aturan KUHPerdata memang sudah waktunya untuk diganti agar mengatur penyalahgunaan keadaan. Sistem pendaftaran modern secara digital diharapkan mampu memberikan perlindungan dan kemudahan kepada para pihak dalam perjanjian jaminan fidusia,” ungkap Promovenda.
Dalam saran yang dikemukakan, Promovenda Heddy Kandou melihat bahwa pelaku usaha pembiayaan konsumen (kreditur) dalam pembuatan perjanjian jaminan fidusia perlu memperhatikan syarat formil sehingga perjanjian tidak mengandung cacat formil yang mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan.
Dirinya juga menyarankan agar pemerintah segera membuat aturan hukum mengenai penyalahgunaan keadaan dan standar muatan yang harus termuat dalam akta jaminan fidusia, agar dapat memberikan kepastian hukum.
“Pemerintah agar segera merealisasikan Undang-Undang Jaminan Fidusia.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen terkait perjanjian baku yang memberikan hak konsumen untuk dapat melakukan negosiasi atas perjanjian baku tersebut,” imbuh Promovenda.
Ketika ditemui di sela skorsing rapat yudisium, Heddy Kandou mengungkap bahwa dirinya melihat ada sebuah ketidakadilan yang dialami oleh debitur di dalam sebuah perjanjian fidusia. Melalui penelitiannya pula Heddy ingin agar masyarakat mendapatkan nilai edukasi terkait suatu perjanjian fidusia.
Jadi jaminan fidusia itu sebenarnya berbentuk jaminan perjanjian baku. Nah perjanjian baku itu sudah ada standar formalnya, kalau kita lihat seperti di karcis parkir itu (termasuk-red) perjanjian baku juga. Jadi (jika terjadi-red) kehilangan lalu (pihak pengelola parkir-red) tidak bertanggung jawab dan sebagainya, kita seolah harus menerima.
Kemudian perjanjian-perjanjian terkait kartu kredit atau di perbankan, pinjam-meminjam, itu kan perjanjian baku. Nah di situlah yang saya tergelitik untuk menyelesaikan ini, tidak boleh ada perjanjian baku yang seperti itu,” ujar Heddy.
Heddy menambahkan, debitur acap kali berada dalam suatu posisi yang lemah di dalam suatu perjanjian fidusia karena adanya faktor kebutuhan, seperti pada kasus debitur yang ingin mengajukan kredit kendaraan bermotor.
“Tetapi di situ (perjanjian fidusia-red) tertulis bahwa kalau (debitur-red) gagal bayar saja maka dia (kreditur-red) bisa mengambil barangnya. Tetapi saya sampaikan di sini, tidak bisa seperti itu. Perjanjian fidusia walaupun baku harus diakta notarilkan. Tetapi di sini pun timbul lagi masalah baru karena akta notaril itu juga baku rupanya, sehingga saya usulkan di situ, ‘harus dilihat lagi, tidak bisa berbentuk baku. Sepakat dan cakap, karena kebebasan berkontrak itu harus ada di dalam perjanjian tersebut’,” ungkapnya.
Dari sisi sebagai pihak yang memberikan pendanaan, tambah Heddy, kreditur tentu membutuhkan pula rasa aman sehingga dana yang sudah dikeluarkan bisa kembali. Menurut Heddy, untuk itulah diperlukan suatu perjanjian fidusia atau perjanjian ikutan (accesoir), yakni perjanjian yang muncul setelah adanya perjanjian pokok.
“Sehingga dengan adanya perjanjian fidusia tersebut si kreditur akan merasa aman. Tetapi kembali lagi, jika perjanjian fidusia tidak diakte-kan maka itu tidak memiliki kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk mengeksekusi. Nah jadi kembali lagi, kalau dia (kreditur-red) mengeksekusi barang di tengah jalan kepada debitur itu bisa dipermasalahkan. Maka supaya dua-duanya bisa seimbang dan adil, perjanjian fidusia tetap ada, harus dinotarilkan. Harus didaftarkan dalam Badan Pendaftaran Perjanjian Fidusia,” urainya.
Menyoroti tanggung jawab negara dalam turut campur atas risiko berakhirnya perjanjian fidusia terhadap debitur, Heddy mengurai bahwa negara sejatinya berkewajiban atas kesejahteraan dan keadilan rakyatnya, sebagaimana dijelaskan di Alinea ke-4 UUD’45.
“Di situ memang negara harus turut campur. Apabila terjadi seperti itu, di mana eksekusi tanpa adanya jaminan fidusia yang eksekutorial maka negara harus turun tangan,” tegas Heddy yang juga berprofesi sebagai seorang entrerpreneur.
Jadi jaminan fidusia itu sebenarnya berbentuk jaminan perjanjian baku. Nah perjanjian baku itu sudah ada standar formalnya, kalau kita lihat seperti di karcis parkir itu (termasuk-red) perjanjian baku juga. Jadi (jika terjadi-red) kehilangan lalu (pihak pengelola parkir-red) tidak bertanggung jawab dan sebagainya, kita seolah harus menerima. Kemudian perjanjian-perjanjian terkait kartu kredit atau di perbankan, pinjam-meminjam, itu kan perjanjian baku. Nah di situlah yang saya tergelitik untuk menyelesaikan ini, tidak boleh ada perjanjian baku yang seperti itu,” ujar Heddy.
Heddy menambahkan, debitur acap kali berada dalam suatu posisi yang lemah di dalam suatu perjanjian fidusia karena adanya faktor kebutuhan, seperti pada kasus debitur yang ingin mengajukan kredit kendaraan bermotor.
“Tetapi di situ (perjanjian fidusia-red) tertulis bahwa kalau (debitur-red) gagal bayar saja maka dia (kreditur-red) bisa mengambil barangnya. Tetapi saya sampaikan di sini, tidak bisa seperti itu. Perjanjian fidusia walaupun baku harus diakta notarilkan. Tetapi di sini pun timbul lagi masalah baru karena akta notaril itu juga baku rupanya, sehingga saya usulkan di situ, ‘harus dilihat lagi, tidak bisa berbentuk baku. Sepakat dan cakap, karena kebebasan berkontrak itu harus ada di dalam perjanjian tersebut’,” ungkapnya.
Dari sisi sebagai pihak yang memberikan pendanaan, tambah Heddy, kreditur tentu membutuhkan pula rasa aman sehingga dana yang sudah dikeluarkan bisa kembali. Menurut Heddy, untuk itulah diperlukan suatu perjanjian fidusia atau perjanjian ikutan (accesoir), yakni perjanjian yang muncul setelah adanya perjanjian pokok.
“Sehingga dengan adanya perjanjian fidusia tersebut si kreditur akan merasa aman. Tetapi kembali lagi, jika perjanjian fidusia tidak diakte-kan maka itu tidak memiliki kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk mengeksekusi. Nah jadi kembali lagi, kalau dia (kreditur-red) mengeksekusi barang di tengah jalan kepada debitur itu bisa dipermasalahkan. Maka supaya dua-duanya bisa seimbang dan adil, perjanjian fidusia tetap ada, harus dinotarilkan. Harus didaftarkan dalam Badan Pendaftaran Perjanjian Fidusia,” urainya.
Menyoroti tanggung jawab negara dalam turut campur atas risiko berakhirnya perjanjian fidusia terhadap debitur, Heddy mengurai bahwa negara sejatinya berkewajiban atas kesejahteraan dan keadilan rakyatnya, sebagaimana dijelaskan di Alinea ke-4 UUD’45.
“Di situ memang negara harus turut campur. Apabila terjadi seperti itu, di mana eksekusi tanpa adanya jaminan fidusia yang eksekutorial maka negara harus turun tangan,” tegas Heddy yang juga berprofesi sebagai seorang entrerpreneur..(Irma)