Dari sisi sebagai pihak yang memberikan pendanaan, tambah Heddy, kreditur tentu membutuhkan pula rasa aman sehingga dana yang sudah dikeluarkan bisa kembali. Menurut Heddy, untuk itulah diperlukan suatu perjanjian fidusia atau perjanjian ikutan (accesoir), yakni perjanjian yang muncul setelah adanya perjanjian pokok.
“Sehingga dengan adanya perjanjian fidusia tersebut si kreditur akan merasa aman. Tetapi kembali lagi, jika perjanjian fidusia tidak diakte-kan maka itu tidak memiliki kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk mengeksekusi. Nah jadi kembali lagi, kalau dia (kreditur-red) mengeksekusi barang di tengah jalan kepada debitur itu bisa dipermasalahkan. Maka supaya dua-duanya bisa seimbang dan adil, perjanjian fidusia tetap ada, harus dinotarilkan. Harus didaftarkan dalam Badan Pendaftaran Perjanjian Fidusia,” urainya.
Menyoroti tanggung jawab negara dalam turut campur atas risiko berakhirnya perjanjian fidusia terhadap debitur, Heddy mengurai bahwa negara sejatinya berkewajiban atas kesejahteraan dan keadilan rakyatnya, sebagaimana dijelaskan di Alinea ke-4 UUD’45.