IPOL.ID – Sekularisme tidak sekadar soal pemisahan agama dan politik, namun sebagai sebuah filsafat yang mempengaruhi semua bentuk kehidupan manusia modern. Prinsip ini sering diperdebatkan namun juga sering dianggap remeh. Akibatnya, alih-alih memperkaya pemahaman mengenai realitas, hasil perdebatan itu terkadang mempersempit pemikiran.
Demikian disampaikan Amin Mudzakkir, periset Pusat Riset Kewilayahan (PRW) pada diskusi ”Talal Asad dan Kritik Sekularisme: Refleksi Autobiografis”, Senin (4/6). Kegiatan tersebut diselenggarakan Kelompok Riset Nasionalisme Etnis dan Agama – PRW Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Pada diskusi kali ini, Amin menyajikan sudut pandang penelitiannya terkait sekularisme yang ia refleksikan secara autobiografis dari seorang antropolog budaya ternama, Talad Asad. Di dalam membahasnya, ia mengulas karya besar buku – buku Talad Asad. Beberapa Karya tulisan Talal Asad yang terkenal antara lain Antropology and The Colonial Encounter, Genealogies of Religion, Formations of the Seculer, Secular Translations, dan lain-lain.
Kemudian, Amin meruntut proses bermulanya ia menekuni penelitian tentang sekularisme. Ia mengaku minat awal risetnya pada agama dan politik yang kemudian ia tuangkan dalam terbitan buku. Lambat laun, ia mempelajari tentang sekularisme dari artikel – artikel yang dikumpulkan ketika bergabung dan berperan pada sebuah kelompok muslim masyarakat sekuler di Eropa.
Amin menuturkan, pada mulanya ia berpandangan bahwa agama adalah sekuler. Ini lantaran bermula dari sudut pandang teori sosial bertemu filsafat politik modern. “Penting sekali memisahkan antara agama dan negara, juga islam dan politik. Dengan ini, saya membayangkan sebuah kehidupan yang beradab itu akan terselenggara!” pikir Amin sebagaimana dilansir dalam rilis brin.go.id.
Namun ternyata, Amin merasa pandangan tersebut kurang pas. Maka, ia membutuhkan cara pandang baru yang mampu menelaah sekularisme secara kritis. Sehingga realitas yang kompleks bisa dihadirkan lebih utuh, terutama melibatkan partisipasi para subjek yang selama ini marginal dalam epistemologi barat modern.
Dengan hal tersebut, tema sekularisme makin sering diperbedatkan. Sebagaimana, Amin contohkan pendapat tokoh Habermas, seorang filsuf dan sosiolog. Ia berpendapat, secara normatif sekularisme harus tetap dipertahankan dengan lebih membuka diri terhadap politik perbedaan. Sebab, ia melihat ada gejala masyarakat post-sekuler, di mana sekarang kaum sekuler dan kaum beragama harus sama-sama saling belajar menerima dan mengakui keberadaan identitas masing-masing, dalam lanskap sosial yang sama.
Sementara, Amin merasa mempunyai kesamaan pandang dengan Talal Asad dalam mengkritisi tentang prinsip sekularisme. Ia merasa punya kemiripan autobiografis dengan Asad.
Sebagai orang Indonesia dan muslim, Amin kurang puas dengan paradigma ilmu sosial dan filsafat politik sekuler. Terutama ketika digunakan untuk memahami gejala masyarakat muslim, khususnya di Indonesia. Maka ia membutuhkan suatu perspektif postkolonial.
Lalu, Amin membeberkan pandangan Asad tentang antropologi sosial pada masa kolonial, yakni salah satu bagian yang selalu mengandung kontradiksi dan ambiguitas yang mendalam. Oleh karena itu, ada potensi untuk melampauinya.
Dituturkan Amin, Talal Asad beranggapan, agar kontradiksi tersebut dapat dipahami. Maka penting untuk melihat hubungan kekuasaan historis antara negara Barat dan dunia, serta mengkaji bagaimana hubungan tersebut secara dialektis. Hal itu dikaitkan dengan kondisi-kondisi praktis, asumsi-asumsi yang bekerja, dan produk intelektual semua disiplin yang mewakili pemahaman Eropa tentang kemanusiaan non-Eropa.
Sementara Talal Asad juga mengungkapkan kritisinya tentang pendapat Clifford Geertz. Geertz dipandangnya memberi contoh terbaik tentang bagaimana antropologi melakukan generalisasi dan universalisasi pengertian tentang agama. Menurut Asad, pendapat Geertz tentang agama sebagai sebuah sistem kultural, lahir dari refleksinya sebagai seorang sekuler (bahkan ateis) yang merujuk pada sejarah Eropa Barat pasca-Reformasi Kekristenan.
Amin kemudian mengungkap analisis ekonomi politik Timur Tengah dan representasi “drama-drama” Islam yang pada hakikatnya adalah bentuk-bentuk latihan diskursif yang berbeda dan tidak dapat saling menggantikan. Meskipun hal itu bisa secara signifikan tertanam dalam narasi yang sama, justru karena keduanya merupakan wacana.
Maka menurutnya, akan salah untuk menggambarkan jenis-jenis Islam yang berkorelasi dengan jenis-jenis struktur sosial, berdasarkan analogi implisit dengan (ideologi) suprastruktur dan basis (sosial). Karena baginya, islam sebagai objek pemahaman antropologi seharusnya didekati sebagai tradisi diskursif yang menghubungkan berbagai hal. Hal itu dengan pembentukan moral, manipulasi populasi, dan produksi konten yang pengetahuan secara tepat.
Amin juga menyoroti islam sebagai tradisi diskursif. Di mana tradisi – tradisi ini dimaknakan sebagai wacana secara konseptual yang berkaitan dengan masa lalu. Dalam tradisi, dijelaskannya, terdapat persaingan otoritas dalam mencari kebenaran. Sementara pembentukan otoritas bukan hanya soal ekonomi-politik, tetapi juga soal rasionalitas atau kemasukakalan. Maka ”Otoritas keagamaan yang lebih rasional dan masuk akal bisa menempati tangga tertinggi dalam hierarki epistemologi masyarakat muslim,” ujarnya. (tim)