Menurutnya, ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 75 ayat (2) dan (3) UU Minerba No. 3 Tahun 2020 yang memprioritaskan pemberian IUPK kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Selain itu, Pasal 74 Ayat (1) UU Minerba juga menyebutkan bahwa pemberian IUPK harus memperhatikan kepentingan daerah.
Lebih lanjut, Ismail menjelaskan lima risiko yang akan timbul jika pengelolaan pertambangan dilakukan oleh Ormas Keagamaan. Pertama, kurangnya pengalaman dan kompetensi yang dapat menyebabkan praktik pertambangan yang buruk. Ini berpotensi merusak lingkungan dan mengancam keselamatan pekerja.
Kedua, potensi konflik internal yang bisa melemahkan struktur organisasi dan menghambat pelaksanaan kegiatan pertambangan. Ketiga, pengawasan dan regulasi yang lemah. Ini menyebabkan praktik-praktik pertambangan yang tidak berkelanjutan dan berpotensi melanggar hukum.
Keempat, ketidakstabilan ekonomi lokal jika pendapatan dari kegiatan pertambangan tidak dikelola dengan baik. Kelima, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. “Ada risik penyalahgunaan IUP untuk keuntungan pribadi, yang dapat menyebabkan korupsi dan penyalahgunaan sumber daya alam,” jelas Ismail.