IPOL.ID – Indonesia nantinya bisa berperan dalam pengamatan sampah luar angkasa atau antariksa. Ini bisa terjadi saat Observatorium Nasional Timau di NTT beroperasi.
Sampah antariksa adalah benda-benda buatan manusia yang masih mengorbit di antariksa tetapi tidak lagi memiliki fungsi.
Koordinator Observatorium Nasional Timau Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Abdul Rachman mengatakan, satelit sebagai benda buatan manusia penting untuk diamati karena terkait isu sampah antariksa, yang menjadi isu internasional dan dibahas PBB setiap tahunnya.
“Isu sampah antariksa sangat penting karena sampah-sampah ini tidak bisa dikendalikan. Sehingga, bisa saja menabrak satelit yang masih aktif bekerja, dan berakibat pada kerusakan yang bisa saja fatal,” kata Abdul, pada dalam webinar 100 Jam Astronomi untuk Semua, mengutip Sabtu (12/10/2024).
Abdul menjelaskan, BRIN selama ini mengamati satelit dengan teleskop-teleskop berukuran relatif kecil, yang terbesar berdiameter cermin 50 sentimeter.
BRIN sedang dalam tahap penyelesaian pembangunan teleskop berukuran raksasa dengan diameter cermin 3,8 meter, di Observatorium Nasional Timau, Kupang, NTT.
Abdul berharap, teleskop raksasa ini akan digunakan untuk pengamatan satelit, karena teleskop tersebut memang potensial untuk tujuan itu.
Menurutnya, pengamatan satelit seringkali perlu dilakukan untuk membantu jika terjadi masalah pada satelit yang masih aktif beroperasi, sehingga tidak bisa berkomunikasi dengan stasiun pengendali di Bumi (dengan kata lain jika terjadi contingency events).
Lebih lanjut Abdul menguraikan, teknik pengamatan maupun analisis yang sudah lama dikenal dalam pengamatan astronomi adalah astrometri, fotometri, dan spektroskopi. “Ini telah digunakan juga dalam pengamatan satelit dan sampah antariksa,” ungkapnya.
Teleskop astronomi untuk pengamatan satelit perlu memiliki slewing rate atau kecepatan bergerak yang cukup tinggi. Ini karena satelit dan sampahnya tergolong fast moving objects yang kecepatan geraknya di langit bisa berkali-kali lipat dari gerak bintang.
Para periset di Pusat Riset Antariksa BRIN telah melakukan pengamatan satelit dengan berbagai instrumen sejak 2014. Termasuk di dalamnya adalah binokuler dan kamera digital portabel. Kegiatan itu dilakukan dengan memakai berbagai perangkat lunak baik yang berbayar maupun yang tersedia bebas di internet.
Pengamatan satelit dengan teleskop ini baru dilakukan pada 2022-2024. Hal itu dilakukan baik pengamatan astrometri untuk menentukan atau memperbaiki orbit satelit, maupun fotometri untuk menentukan kecerlangan dan karakteristik sikap satelit.
“Satelit yang berputar (tumbling) umumnya terjadi pada satelit-satelit yang sudah berakhir masa operasinya sehingga menjadi sampah. Karakteristik sikap ini mencakup arah sumbu rotasi dan lajunya. Informasi ini dibutuhkan dalam upaya mitigasi dampak sampah antariksa,” tambah Abdul.
Adapun foto satelit buatan menggunakan teleskop, sambung dia, sangat berbeda dengan foto benda astronomi seperti bulan, planet, galaksi, dan lain-lain. Umumnya, foto benda astronomi sangat indah dengan beragam warna. Namun, foto satelit dari teleskop di Bumi biasanya hanya berupa potongan garis lurus atau titik berwarna putih di tengah-tengah kumpulan bintang.
“Akan tetapi, analisis terhadap garis-garis atau titik-titik itu bisa memberikan informasi yang sangat bermanfaat dari sudut pandang sains maupun sudut pandang praktis,” tuturnya.
Abdul memberi contoh tiga satelit yang dipandang bisa mewakili perkembangan teknologi satelit buatan. Satelit pertama adalah Sputnik milik Rusia, merupakan satelit yang pertama kali berhasil diluncurkan pada 1957.
Satelit kedua adalah satelit dengan ukuran jauh lebih besar dengan panel surya dan kompleksitas tinggi. Misalnya, satelit-satelit navigasi dan telekomunikasi di orbit menengah dan orbit tinggi.
Dan satelit ketiga adalah satelit cubesat yang berukuran kecil tapi kompleks, yang saat ini banyak sekali mengangkasa. “Teknologi satelit semakin berkembang mulai dari yang sangat sederhana sampai dengan yang paling kompleks,” bebernya.
Abdul menambahkan, Jaringan Observatorium dan Planetarium Indonesia (JOPI) yang telah memiliki puluhan teleskop bermotor penggerak bisa berpartisipasi dalam pengamatan satelit buatan.
“Sehingga, fasilitas canggih yang dimiliki tidak hanya digunakan untuk mengamati benda langit alami, tetapi juga satelit buatan. Jadi, manfaat atas keberadaan teknologi ruang angkasa ini bisa terus kita nikmati,” pungkasnya. (ahmad)