IPOL.ID-Sejumlah organisasi Muslim dan Arab-Amerika besar serta kelompok-kelompok aktivis pro-Palestina mengaku tidak dilibatkan dalam acara pertemuan antara kantor Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) Kamala Harris dengan para tokoh masyarakat mengenai upaya pemerintah meredam konflik meluas di Timur Tengah.
Pada Rabu (2/10/2024), Gedung Putih mengumumkan bahwa Phil Gordon, penasihat keamanan nasional Harris, bertemu secara virtual dengan para tokoh masyarakat Muslim, Arab dan Palestina-Amerika dari seluruh penjuru Amerika Serikat membahas upaya pemerintahan Biden untuk mengakhiri perang di Gaza.
Dalam pernyataannya, Gedung Putih mengatakan bahwa Gordon “menyampaikan keprihatinannya terhadap warga sipil di Lebanon,” dan “tindakan Israel yang merusak perdamaian, keamanan dan stabilitas di Tepi Barat.”
Pertemuan itu tampak seperti upaya untuk memperbaiki hubungan pemerintah dengan komunitas Arab, Palestina dan Muslim, yang marah akan dukungan berkelanjutan pemerintah AS kepada Israel dalam perang melawan Hamas. Merenggut nyawa puluhan ribu warga sipil Palestina dan menyisakan krisis kemanusiaan di Gaza hingga sekarang.
Tetapi tak satu pun organisasi masyarakat besar, termasuk Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) dan Dewan Hubungan Masyarakat Muslim diundang ke pertemuan itu.
Demikian juga Gerakan Nasional Tak Berkomitmen dan Tinggalkan Harris, dua kelompok aktivis pro-Palestina telah mendorong perubahan dalam kebijakan pemerintah AS mengenai isu Gaza.
Tokoh masyarakat dari kelompok-kelompok terkemuka di area Washington, termasuk MakeSpace, Pusat Islam Dar Al Hijrah, dan Mustafa Center juga tidak diundang.
James Zogby, Presiden Institut Arab Amerika, ikut serta dalam pertemuan delapan orang bersama Gordon. Dia mengatakan, pertemuan itu “menjengkelkan,” karena tidak melibatkan para perwakilan kelompok masyarakat.
“Kami diberi tahu (bahwa ini) pertemuan Arab-Amerika. Kami diberi tahu ini pertemuan Muslim. Satu pun tidak ada yang benar,” kata Zogby kepada VOA, Jumat (4/10/2024).
“Tidak ada tokoh masyarakat Palestina. Memang ada orang Amerika keturunan Palestina (yang hadir), tapi tak ada organisasi mewakili masyarakat Palestina-Amerika”.
Gedung Putih, kantor wakil presiden, maupun tim kampanye Harris tidak menanggapi pertanyaan VOA.
Zogby mengatakan, dia merasa ‘terjebak’ oleh acara yang dia sebut sebagai ‘formalitas saja’ itu. Pemerintahan Biden melewatkan kesempatan karena tidak mengundang orang-orang diusulkan oleh masyarakat.
“Hanya ada dua dari delapan orang di antara kami merupakan pemimpin organisasi,” ungkapnya.
Edward Gabriel, presiden Gugus Tugas Amerika untuk Lebanon mengatakan bahwa kantor wakil presiden AS telah melibatkannya dalam ‘hampir selusin’ pertemuan, termasuk yang turut dihadiri Gordon pekan ini.
“Pertemuan kami terus berlanjut secara positif,” tulisnya kepada VOA. “Kami telah menyampaikan kepada Wakil Presiden dan timnya tentang pentingnya menyampaikan pesan yang jelas kepada komunitas kami mengenai perlunya mengakhiri perang ini dan membantu warga Lebanon paling terdampak oleh konflik tersebut”.
Selama dua minggu terakhir, kampanye militer Israel menarget militan Hizbullah didukung Iran di Lebanon telah menewaskan ratusan orang, melukai ribuan lainnya dan memaksa lebih dari satu juta orang mengungsi. Salah satu korbannya adalah Kamel Ahmad Jawad, Warga Negara AS asal Kota Dearborn, Michigan.
Gabriel menjelaskan, sikap Biden terhadap kampanye militer Israel ke Lebanon semakin meluas hingga saat ini tidak diterima dengan baik oleh komunitas warga Amerika-Lebanon. “Karena tidak adanya rasa belas kasihan diungkapkan atas hilangnya nyawa warga sipil tak bersalah, terutama perempuan dan anak-anak,” ujarnya.
Upaya pendekatan Harris dilakukan saat hasil jajak pendapat terbaru menunjukkan bahwa dukungan warga Arab-Amerika terhadap calon presiden AS dari Partai Demokrat itu pada hakikatnya setara dengan dukungan bagi capres Partai Republik, mantan Presiden Donald Trump.
Institut Arab Amerika pada Rabu (2/10/2024) menerbitkan hasil survei nasionalnya terhadap 500 warga Amerika keturunan Arab sudah terdaftar sebagai pemilih, menunjukkan bahwa dukungan bagi Trump berada pada angka 42 persen, sedangkan bagi Harris sebesar 41 persen.
Di antara responden mengaku kemungkinan besar bakal menggunakan hak pilih dalam pemilu, sebanyak 46 persen akan memilih Trump, lebih banyak dari yang berniat memilih Harris jumlahnya mencapai 42 persen.
Jajak pendapat menunjukkan bahwa upaya pemerintahan Biden dalam menangani krisis di Gaza telah menggerogoti dukungan masyarakat terhadap Partai Demokrat, merupakan partai pemerintah. Padahal, komunitas itu biasanya mendukung Demokrat. Warga Arab-Amerika kini terbelah sama rata ke dalam dua partai besar di Amerika-Demokrat dan Republik-dengan dukungan sama-sama 38 persen.
Amerika merupakan rumah bagi 3,5 juta warga keturunan Arab menurut sensus terbaru. Biro Sensus AS tidak mendata penduduk berdasarkan agama mereka, tapi berbagai sumber menunjukkan bahwa terdapat sekitar 4-6 juta warga Muslim di Amerika.
Angka itu jauh lebih kecil dibanding total populasi AS sebanyak 337 juta jiwa. Meski, karena warga Arab-Amerika terpusat di segelintir negara bagian, seperti California dan Michigan, mereka mungkin akan memainkan peran lebih besar dalam pemilu November mendatang.
Hal ini mungkin terutama bakal terasa di Michigan, salah satu negara bagian penentu dengan persentase penduduk keturunan Arab dimenangkan Biden pada pemilu 2020. Selisih suara hanya sebesar 154 ribu suara di atas Trump. Pada Tahun 2016, Trump memenangkan pemilu di negara bagian itu, keunggulan suara sebanyak 11.000 atas Hillary Clinton.
Lebih dari 100.000 warga Michigan memberikan suara ‘tidak berkomitmen’ dalam pemilihan pendahuluan Partai Demokrat awal tahun ini, untuk memprotes dukungan pemerintahan Biden pada kampanye militer Israel suara yang dapat direbut oleh Trump.
Trump telah berusaha mendekati pemilih keturunan Arab dan Muslim, dan telah mendapatkan dukungan dari Amer Ghalib, wali kota Hamtramck, Michigan, keturunan Yaman. Kota dipimpinnya merupakan rumah bagi 30.000 penduduk, hampir separuhnya memeluk Islam, sekaligus menjadi satu-satunya kota di AS dengan anggota dewan kota seluruhnya Muslim.
“Mendukung Presiden Trump adalah kombinasi dari kekecewaan sekaligus harapan,” kata Ghalib.
“Kecewa pada kebijakan pemerintahan saat ini, baik di dalam maupun luar negeri, dan dengan harapan bahwa Presiden Trump akan memperbaiki segalanya, mengakhiri kekacauan di Timur Tengah dan memulihkan perdamaian di mana-mana, sekaligus mencegah agar ekonomi kita tidak semakin turun”.
Dukungan Ghalib diberikan akhir bulan September, setelah dia bertemu Trump, menggelar kampanye di Kota Flint, Michigan.
Dalam isu budaya seperti hak-hak LGBTQ+ dan hak aborsi, Ghalib dan banyak konstituennya lebih sejalan dengan Partai Republik. Dia telah mendukung sejumlah kebijakan konservatif dibuat oleh dewan kotanya, termasuk larangan mengibarkan bendera Pride di bangunan pemerintah kota, sebuah langkah membuat marah anggota sekaligus sekutu komunitas LGBTQ+.
“Isu budaya itu penting bagi beberapa orang,” tukas Zogby. Dia menambahkan, motivasi lainnya adalah keinginan untuk “menghukum Partai Demokrat” akibat apa yang terjadi di Gaza.
“Saya rasa tak ada yang benar-benar serius menganggap Trump lebih baik dari Kamala Harris dalam isu Timur Tengah. Ini lebih kepada keduanya mungkin sama-sama buruk. Itu, saya rasa, pandangan umumnya,” pungkas dia. (Joesvicar Iqbal)