indoposonline.id – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menelaah atas 35 kasus eksploitasi seksual dan ekonomi serta pekerja anak di Indonesia dalam rentang waktu Januari sampai dengan April 2020.
Seperti halnya pada profil anak korban. Usia anak korban prostitusi disebutkan paling rendah adalah 12 tahun sd 17 tahun 98%, dan sisanya di bawah umur itu artinya di bawah 18 tahun. Sedangkan eksploitasi ekonomi sejak usia 16 sd 17 tahun, dan perdagangan anak merupakan bayi.
“Hal ini menjadi warning pada peran orang tua bahwa usia rentan anak masuk dan terlibat dalam jaringan prostitusi bukan lagi usia remaja akhir jelang 18 tahun, melainkan fase remaja awal,” terang Ai Maryati Solihah, Komisioner Sub Komisi Perlindungan Khusus Anak pada wartawan, Rabu (5/5).
Jika dilihat pada Pendidikan Anak. Katanya, prosentase status korban yang masuk dalam eksploitasi dan pekerja anak adalah 67%, mereka tercatat sebagai siswa yang masih aktif bersekolah dan 33 % mereka putus sekolah. Hal ini menunjukkan pintu kontrol dan pengawasan pendidikan harus ditingkatkan, baik pencegahan dalam hal edukasi kespro dan internet sehat, serta kuratif adanya monitoring, penjangkauan dan perindungan yang terhubung dengan lokus-lokus penanganan perlindungan anak serta bekerja sama dengan pihak orangtua.
KPAI menekankan kepada Kemendikbud untuk mendorong Dinas Pendidikan Provinsi hingga Kota dan Kabupaten untuk pro aktif menjamin tetap terpenuhinya Pendidikan korban.
Kemudian medium yang digunakan. Melihat trend kasus, medium anak menjadi korban eksploitasi seksual dijelaskan 60% menggunakan jejaring media social dan 40% secara konvensional didatangkan, diajak dan direkrut secara fisik.
Dalam aksinya, pelaku (mucikari/germo) memasang iklan anak, menjajakan layanan hubungan intim disertai harga, diantaranya memanipulasi usia, dan ajakan-ajakan yang sifatnya open booking (istilah prostitusi online).
Seluruhnya difasilitasi dan berinteraksi menggunakan transaksi elektronik dan aplikasi media social. Hal ini secara efektif memudahkan proses rekruitmen hingga eksekusi yang dilakukan jaringan dalam menyasar anak-anak di bawah umur.
Dalam konteks penegakkan hukum KPAI mendorong kepolisian dan unit cyber untuk menindak maraknya cyber crime pada anak, deteksi dini operasi, tindak lanjut dan proses hukum. Kemudian menggunakan aturan perundangan sesuai aturan yang berlaku.
Medium online yang paling sering digunakan. Para pelaku menggunakan aplikasi Michat 41 persen, Whatsapp 21 persen, Facebook 17 persen, tidak diketahui 17 perseb dan hotel yang dipesan secara virtual nama Reddoorz 4 persen. “Terkait Michat sebagai aplikasi yang banyak disalahgunakan, pemerintah diharapkan menaruh perhatian serius dalam mengevaluasi,” ujarnya.
KPAI pun mendorong peran Kemkominfo untuk pro aktif pada penyedia aplikasi agar mempersulit penyalahgunaan, dan menindak untuk tidak segan mentakedown serta mencabut izin beroperasi di Indonesia.
Lalu melihat pada lokasi kejadian. Presentasi lokasi kejadian yang paling sering digunakan saat ini di hotel-hotel sebanyak 41 persen, 23 persen, apartemen masih dijadikan tempat prostitusi, selanjutnya indekos menempati 18 persen dan di wisma 18 persen.
Munculnya hotel yang secara virtual menyediakan bisnis perhotelan namun sering kali digunakan untuk kegiatan prostitusi, bahkan dijadikan penampuangan dan prostitusi terhadap anak.
Hendaknya Kementerian Pariwisata dan Kreatif menindak termasuk mencabut izin usaha serta diproses secara hukum. Dalam pelibatan Apartemen baik broker ataupun penyewa yang memberikan kemudahan pada pelaku untuk menjadikan tempat prostitusi pada anak, KPAI terus mendorong Kemenpupera dan Pemerintah Daerah berkomitmen, menindak tegas dan memberikan sanksi.
Pada Undang-Undang yang digunakan. Pada kasus prostitusi dan eksploitasi anak Aparat Penegak Hukum, menggunakan peraturan 27 persen UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak, 25 persen menggunakan UU No 21/2007 tentang PTPPO, kemudian 11 persen menggunakan UU No 19/2016 tentang ITE dan 10 persen UU No 17/2016 tentang PA atas revisi kedua UU Perlindungan Anak (pemberatan hukuman), 10 persen menggunakan KUHAP dan 17 persen tidak disebutkan secara jelas UU yang dikenakan.
Untuk itu, KPAI terus memonitor dan mendorong implementasi aturan perundangan terutama UU TPPO yang memberikan daya dorong perlindungan korban melalui rehabilitasi psiko-sosial (anak tidak langsung dipulangkan kepada orang tua, namun perlu diasessment dan direhab oleh lembaga berwenang), serta kewajiban pelaku memberikan restitusi terhadap korban.
“UU Perlindungan Anak secara komprehenship memberikan perlindungan, rehabilitasi dan efek jera pada pelaku. Untuk itu, hendaknya sudah tidak menggunakan KUHAP dalam perkara anak,” pungkasnya.
Hasil pengawasan 7 pekerja anak di Kab. Bogor. Anak bekerja 8 jam sehari di pabrik rambut palsu Kab. Bogor menjadi temuan bahwa program pemerintah terkait menurunkan pekerja anak dimasa pandemi mendapat banyak tantangan. Peningkatan angka kemiskinan dan banyak orang tua terkena PHK menjadi pemicu anak memilih kerja ketimbang melanjutkan Pendidikan.
KPAI menyambut baik program Presiden RI untuk menurunkan angka pekerja anak dengan melakukan pengawasan, mendorong Kemenaker dan KPPPA sebagai leading sector secara komprehenshif.
Hasil koordinasi KPAI dengan para pemangku kepentingan di Jawa Barat dalam pengawasan pekerja anak (1) mendorong adanya sanksi dan pembinaan perusahaan yang mempekerjakan anak sesuai dengan UU dan peraturan yang berlaku, (2) Mendorong penarikan pekerja anak dengan serta merta memberikan perlindungan jaminan sosial dan akses rehabilitasi psiko-social pada anak. Kolaborasi Kemenaker dengan KPPPA, begitu pula DP3AKB Jabar dengan Disnaker Jabar harus memberikan layanan program sosial kepada 7 anak tersebut.
Intervensi PPA-PKH dan pemenuhan kebutuhan dasar pekerja anak, selanjutnya mengadvokasi keluarganya dan mencegah anak memasuki pasar kerja sejak dini (3) Mendorong Penanganan pekerja anak berbasis keluarga dan komunitas, berlandaskan pemberdayaan dan kepentingan terbaik bagi anak. Pemberdayaan keluarga tentang edukasi pengasuhan positif, Kesehatan reproduksi, kecakapan hidup, bekerja aman tanpa eksploitasi dan penguatan ekonomi keluarga. (ibl)