IPOL.ID – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat jumlah pengaduan masyarakat terkait kasus anak tahun 2021 mencapai 2.982 kasus.
“Tren kasus pada kluster perlindungan khusus anak tahun 2021 didominasi enam kasus tertinggi,” ungkap Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto pada awak media dalam laporan akhir tahun KPAI di Jakarta, Selasa (25/1).
KPAI mencatat enam kasus tertinggi pada anak itu adalah, pertama, anak korban kekerasan fisik dan atau psikis mencapai 1.138 kasus; kedua, anak korban kejahatan seksual mencapai 859 kasus; ketiga, anak korban pornografi dan cyber crime 345 kasus; keempat, anak korban perlakuan salah dan penelantaran mencapai 175 kasus.
Kelima, anak dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual berjumlah 147 kasus; dan keenam, anak berhadapan dengan hukum sebagai pelaku sebanyak 126 kasus.
Kasus kekerasan fisik dan psikis, anak korban penganiayaan mencapai 574 kasus, anak korban kekerasan psikis 515 kasus, anak korban pembunuhan 35 kasus, dan anak korban tawuran terdapat 14 kasus.
Sedangkan aduan tertinggi kasus kejahatan seksual terhadap anak berasal dari jenis anak sebagai korban pencabulan sebanyak 536 kasus (62%), anak sebagai korban kekerasan seksual pemerkosaan 285 kasus (33%), anak sebagai korban pencabulan sesama jenis 29 kasus (3%), dan anak sebagai korban kekerasan seksual pemerkosaan/persetubuhan sesama jenis 9 kasus (1%).
“Dilihat dari sisi pelaku, para pelaku yang melakukan kekerasan fisik dan/atau psikis terhadap korban, umumnya orang yang dikenal oleh korban dan sebagian kecil tidak dikenal oleh korban,” ujar dia.
Susanto menjelaskan, pelaku cukup variatif, yaitu teman korban, tetangga, kenalan korban, orang tua, oknum pendidik dan tenaga kependidikan di satuan pendidikan dan oknum aparat.
Dari sisi lokasi kasus, kekerasan fisik dan/atau psikis pada anak di Indonesia banyak terjadi di lima provinsi di Indonesia. Yaitu, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, dan Sumatera Utara.
“Adanya kasus anak menjadi korban kekerasan fisik dan/atau psikis di Indonesia dilatarbelakangi oleh beragam faktor,” tandasnya.
Di antaranya, pengaruh negatif teknologi dan informasi, permisifitas lingkungan sosial-budaya, lemahnya kualitas pengasuhan, kemiskinan keluarga, tingginya angka pengangguran, hingga kondisi perumahan atau tempat tinggal tidak ramah anak.
Pandemi menimbulkan dampak kompleks dan efek domino bagi maraknya kasus pelanggaran hak anak. Pandemi Covid-19 menyebabkan terjadinya keterpurukan ekonomi keluarga, menurunnya kualitas kesehatan, tidak terpenuhinya pendidikan berkualitas, berdampak bagi kondisi psikologis orang tua dan menimbulkan kerentanan ragam pelanggaran hak anak.
Semakin dekatnya media digital dengan anak di masa Covid-19 sebagai salah satu alternatif layanan pendidikan. Tanpa didukung literasi memadai menjadi kerentanan anak terpapar dampak negatif teknologi.
“Jadi memerlukan intervensi khusus dalam penanganannya,” katanya.
Perundungan pada anak melalui sosial media belakangan juga sering terjadi. Anak-anak rentan mengalami kasus kekerasan seksual online dan menimbulkan trauma, serta gangguan psikis. Ini berdampak bagi tumbuh kembang anak di masa akan datang.
Selama tiga tahun terakhir, angka pekerja anak mengalami peningkatan. Data tahun 2020 mencatat peningkatan pekerja anak terjadi di usia 10-12 tahun dan 10-14 tahun.
Eksploitasi ekonomi marak berkorelasi terhadap meningkatnya pekerjaan terburuk bagi anak (PBTA). Terkait eksploitasi seksual dan TPPO menunjukkan fluktuasi jumlah dan kompleksitas kasus.
Guna mencegah dan menangani ragam kasus terhadap anak, KPAI telah melakukan banyak hal. Pertama, optimalisasi pengawasan, memastikan stakeholder melakukan tugas sesuai tusi dan mengintegrasikan perspektif perlindungan anak.
Kedua, advokasi secara reguler tuk perbaikan sistem perlindungan anak di Indonesia dan memastikan inovasi pencegahan pelanggaran terhadap anak. Ketiga, pengawasan terhadap proses hukum terhadap kasus-kasus anak agar sejalan dengan regulasi dan semangat pemajuan perlindungan anak di Indonesia. Keempat, mengoptimalkan layanan dan penanganan terhadap korban.
Berdasarkan hasil pengawasan KPAI tingkat ketuntasan penanganan anak korban kekerasan fisik, psikis dan seksual baru mencapai 48,3%. Sehingga diperlukan adanya upaya serius agar korban tidak semakin rentan dan terdampak dalam kehidupannya.
Kelima, sambung dia, pencegahan kekerasan terhadap anak berbasis institusi, baik berasrama maupun non asrama dengan Kebijakan Keselamatan Anak (child safeguarding).
Berdasarkan tren kasus dan dinamika perlindungan anak di 2021, KPAI memandang beberapa isu strategis perlu jadi perhatian di 2022. Seperti intervensi anak kehilangan orang tua karena pandemi. Memastikan anak mendapatkan vaksinasi usia 6-12 dan menuntaskan vaksinasi anak usia 12-17 tahun.
Munculnya varian Omicron di Indonesia menyebabkan anak rentan jadi korban, maka pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan PTM 100%. Mempertimbangkan, memprioritaskan keselamatan dan kesehatan anak.
“Pemerintah hendaknya merumuskan strategi pencegahan dan penanggulangan potensi angka putus sekolah sebagai dampak Covid-19 dan efek domino ekonomi keluarga,” tukasnya.
Upaya-upaya pencegahan anak terpapar rokok dan sebagai perokok aktif melalui regulasi dan edukasi, serta mencegah adanya segala bentuk iklan, promosi, dan sponsor rokok perlu dioptimalkan. “Optimalisasi kualitas layanan rehabilitasi anak korban,” tambahnya.
Meningkatkan penguatan forum anak sebagai pelopor dan pelapor perlindungan anak. Optimalisasi perlindungan anak berbasis siber dan kejahatan transnasional melalui regulasi dan edukasi terkait.
Edukasi literasi digital melibatkan sekolah, keluarga, masyarakat, media, dan pihak terkait. Memastikan tanggung jawab media platform mengintegrasikan etika perlindungan anak dalam layanan.
Mengoptimalkan pengawasan perlindungan anak dari trafficking, terutama aktivitas anak di dunia siber mengingat kasus-kasus perdagangan orang saat ini banyak berbasis online.
Mendorong roadmap Indonesia bebas pekerja anak, mendorong gugus tugas TPPO bekerja lebih optimal, penguatan kapasitas aparat penegak hukum terkait perlindungan anak, termasuk perlindungan anak di dunia siber.
Peningkatan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak menjadi setingkat direktorat di Bareskrim Mabes Polri. Mengupayakan adanya Unit PPA di tingkat polsek dengan jumlah penanganan kasus anak terus tinggi.
“Harus ada penguatan nilai-nilai nasionalisme dan toleransi bagi usia anak melalui berbagai pendekatan formal dan non formal. Penguatan dan pembentukan Lembaga Pengawas Perlindungan Anak di daerah,” tutupnya. (ibl)