Mantan Kapolri Jenderal Polisi (Purn), Muhammad Tito Karnavian, menjelaskan, seseorang dapat dicurigai terjangkit radikalisme apabila menunjukkan bentuk-bentuk aksi seperti mengapresiasi aksi terorisme. Tidak mengecam aksi terorisme, menunjukkan dukungan melalui unggahan di media sosial, mencurigai aksi teror sebagai rekayasa, dan sebagainya.
“Jika sikap dan pemahaman ini tidak segera diintervensi, sangat mungkin seseorang yang sudah radikal menjadi teroris. Yang bersangkutan bukan lagi mendukung dan menyetujui aksi-aksi kekerasan, tetapi sudah terlibat langsung menjadi pelaku atau eksekutor aksi-aksi kekerasan tersebut,” imbuh Gatot.
Hal yang harus dipahami bersama, sambung Gatot, radikalisme terjadi secara bertahap dan dengan kadar berbeda-beda. Umumnya, radikalisme bermula dari intoleransi, yakni sebuah pemahaman dan sikap menolak keberadaan kelompok lain, risih dengan perbedaan.
“Itu sebabnya, tidak sedikit pakar dan pengamat yang menyebut radikalisme ibarat sel tidur yang sewaktu-waktu dapat tergerak untuk melakukan aksi-aksi anarkis,” tutur Wakapolri. (Joesvicar Iqbal)