IPOL.ID – Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) meluncurkan penelitian mengenai “Faktor Pendorong Kekambuhan Merokok (Smoking Relapse) pada Anak di Indonesia: Bukti dari Global Youth Tobacco Survey (2006-2019)”.
Studi tersebut menunjukkan angka smoking relapse pada anak memiliki proporsi 50% ke atas. Studi menyimpulkan faktor pendorong smoking relapse pada anak dipengaruhi faktor harga maupun non-harga.
Harga rokok murah merupakan faktor signifikan, mendorong anak kambuh merokok kembali. Kenaikan harga pada pembelian rokok per bungkus menjadikan perilaku smoking relapse pada anak menurun lebih tajam dibanding pembelian rokok per batang.
Faktor non-harga pendorong perilaku smoking relapse pada anak, yaitu pengaruh teman sebaya, penggunaan rokok elektronik, keterpaparan iklan, promosi, dan sponsor rokok. Karena itu, kebijakan pengendali konsumsi rokok lebih kuat, baik dari sisi harga dan non-harga, harus terus didorong.
Data yang dihimpun, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun mengalami peningkatan dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018. Pemerintah Indonesia melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) telah memiliki target penurunan prevalensi perokok pada anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7% di Tahun 2024.
Namun, upaya menurunkan target prevalensi perokok anak masih menghadapi berbagai tantangan, di antaranya ancaman terjadinya smoking relapse. Smoking relapse merupakan kekambuhan berperilaku merokok kembali saat coba berhenti merokok.
Zat nikotin dalam rokok bersifat adiktif berdampak munculnya efek ketagihan dan smoking relapse. Meski perokok telah memutuskan berhenti merokok. Kondisi itu rentan terjadi pada anak berpengalaman merokok.
Selain nikotin, terdapat berbagai faktor pemungkin dan faktor penguat anak dengan pengalaman merokok, telah mencoba berhenti kembali berperilaku merokok.
Belum banyak studi mengeksplorasi faktor-faktor penyebab smoking relapse pada anak di Indonesia. Nah, PKJS-UI telah melaksanakan studi kuantitatif menggunakan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) di Indonesia multi tahun, yaitu 2006, 2009, 2014, dan 2019 secara pool panel mengeksplorasi faktor memperkuat penyebab smoking relapse pada anak di Indonesia.
Identifikasi anak smoking relapse didapat dari pertanyaan pernah mencoba merokok, mencoba berhenti merokok 12 bulan terakhir. Apakah saat ini menjadi perokok? Konsep studi dikembangkan pendekatan predisposing, enabling, dan reinforcing.
Regresi logit digunakan memprediksi kemungkinan seorang anak bakal kembali setelah berhenti berperilaku merokok.
Muhammad Abdul Rohman, Tim Riset PKJS-UI menuturkan, pun sama-sama ada kenaikan harga, pembelian rokok per bungkus menunjukkan cenderung turun smoking relapse lebih curam pada anak dibanding pembelian ketengan.
“Ini menunjukkan pembelian rokok per bungkus memiliki dampak lebih besar mencegah smoking relapse pada anak, dibanding pembelian ketengan,” kata Rohman, Kamis (2/2).
Para penanggap dari beberapa Kementerian telah merespons hasil penelitian PKJS-UI. Renova Glorya Montesori Siahaan, Perencana Ahli Madya/Koordinator Kesehatan Masyarakat, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyampaikan, Bappenas mendukung berbagai upaya diarahkan menurunkan prevalensi perokok anak.
Menurutnya, tantangan menurunkan prevalensi perokok anak tak mudah. Anak sangat dipengaruhi faktor lingkungan (selain akses dan harga). Banyak kajian yang sudah mendukung faktor harga strategis menurunkan prevalensi perokok anak.
Faktor lain perlu diperdalam yaitu mengatasi faktor kecanduan, misalnya akses upaya berhenti. Selain itu, pengendalian tingkat keluarga juga perlu menjadi perhatian bersama.
Sarno, Analis Kebijakan Ahli Madya, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI menambahkan, studi itu jadi rekomendasi perumusan kenaikan cukai hasil tembakau. Kementerian Keuangan tetap konsisten menyikapi isu peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT), penyesuaian tarif CHT, Harga Jual Eceran (HJE), dan simplifikasi layer CHT.
“Hingga harga rokok tidak terjangkau”.
Estimasi dampak usulan kebijakan CHT Tahun 2023 dan 2024 diperkirakan prevalensi merokok anak turun jadi 8,92% di 2023 dan 8,79% di 2024. Selain itu, indeks kemahalan rokok diperkirakan naik jadi 12,46% di 2023 dan 12,35% di 2024.
“Kami juga melakukan penyesuaian rokok elektronik sebesar 15% maupun pengolahan tembakau lainnya sebesar 6% setiap tahun, untuk lima tahun ke depan. Ditambah, harga eceran minimum disesuaikan pengembangan harga di pasaran,” terangnya.
“Tentang pelarangan penjualan ketengan, termasuk pengaturan diusulkan kami masuk dalam rancangan Peraturan Presiden mengenai peta jalan pengelolaan produksi hasil tembakau,” papar Sarno.
Fitria Wiraswasti, Ketua Tim Bidang Barang Penting, Direktorat Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia mengatakan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mendukung adanya kajian ini.
“Terkait pelarangan penjualan ketengan, kami akan mengkaji kembali di peraturan Kemendag. Terutama mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 Pasal 60 menyebutkan bahwa pengawasan terhadap produk tembakau beredar, promosi, dan pencantuman peringatan kesehatan dalam iklan dan kemasan tembakau dilaksanakan Kepala Badan, termasuk berkoordinasi dengan Kemendag,” tambah Fitria.
Sementara, Dian Srinursih, Koordinator Profil Pelajar Pancasila dan Inklusivitas Pusat Penguatan Karakter, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia menyampaikan, diskusi ini luar biasa dampaknya pada generasi di masa depan.
Satu sisi, jadi tantangan menyelesaikan permasalahan di dunia pendidikan, yaitu tentang kekambuhan merokok pada anak.
“Guna menekan angka prevalensi perokok di usia sekolah (SD, SMP, SMA, dan sederajat), kami telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 64/2015, bisa dijadikan acuan oleh sekolah dalam pemberian pengawasan dan sanksi tegas pada siswa”.
Selain itu, sambungnya, Dinas Pendidikan berdasarkan laporan atau informasi berhak memberi teguran atau sanksi pada kepala sekolah pelanggar kawasan tanpa rokok. Sekolah tidak boleh mencantumkan/ membiarkan spanduk, papan, iklan/reklame, atau bentuk lain dari perusahaan rokok di lingkungan sekolah.
“Semua kembali ke pelaksana sekolah, dinas dan pemerintah daerah. Jadi tantangan sosialisasi kembali ke pelaksana menerapkan dan sanksi dituliskan pada Permendikbud itu,” tukas Dian.
Aryana Satrya, Ketua PKJS-UI menambahkan, banyak faktor membuat anak akhirnya merokok kembali. Setelah sebelumnya berhenti. “Studi ini menjadi pendorong pemerintah dapat menerapkan kebijakan lain perkuat pengendalian konsumsi rokok di Indonesia menuju pencapaian target penurunan prevalensi perokok anak pada RPJMN 2024, termasuk sejalan pada kebijakan kenaikan cukai rokok di Tahun 2023 dan 2024,” ujarnya.
Diharapkan tahun selanjutnya kenaikan harga rokok harus lebih tinggi. Studi ini menjadi bukti tambahan perkuat implementasi rencana pelarangan penjualan rokok ketengan di Tahun 2023 tertuang pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 2022.
“Kebijakan sisi non-harga perlu segera dilakukan adalah revisi Peraturan Pemerintah No. 109/2012. Baik harga dan non harga harus terus dilakukan secara konsisten dan persisten,” tutup dia. (Joesvicar Iqbal)