IPOL.ID – Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan kekerasan yang menimbulkan kekerasan intergenerasi. Oleh karena itu, literasi masyarakat untuk penghapusan KDRT sangat perlu dilakukan.
Hal itu disampaikan oleh Eni Widiyanti, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan, KemenPPPA RI, dalam Dialog Lembaga Penyedia Layanan Mengenai Penghapusan KDRT pada Selasa (12/9).
Kegiatan ini diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI bekerja sama dengan Perkumpulan JalaStoria Indonesia.
“KDRT ini sangat membahayakan dan merugikan perempuan dan anak,” tegas Eni
Pada anak, KDRT dapat menimbulkan dampak negatif termasuk potensi pewarisan kekerasan intergenerasi. Misalnya, anak menyaksikan ibu menjadi korban, atau anak dipukul keluarga sewaktu masih kecil.
“Pengalaman tersebut dapat menimbulkan warisan seseorang menjadi pelaku atau menjadi korban,” urai Eni.
Oleh karena itu, Eni mengingatkan, berbagai kasus KDRT yang terjadi harus menjadi perhatian bersama, apalagi karena yang tidak melapor lebih banyak.
Di sisi lain, sekalipun UU PKDRT sudah 19 tahun diundangkan, Forum Pengada Layanan mencatat berbagai tantangan masih saja mengemuka.
“Konseling perubahan perilaku bagi pelaku KDRT masih belum dijatuhkan hakim dalam putusan,” jelas Siti Mazumah, Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) dalam forum yang sama.
Padahal, Mazumah mengingatkan, konseling ini sangatlah penting untuk mengubah cara pandang masyarakat yang selama ini dibesarkan dalam budaya patriarki.
“Tumbuh dalam budaya patriarki, laki-laki tidak mengerti bagaimana melakukan manajemen perasaan marah, akhirnya muncul toxic maskulinity yang menimbulkan konsekuensi pelaku KDRT,” jelasnya.
Tantangan lainnya adalah terkait penafsiran Pasal 44 ayat (4) tentang kekerasan fisik, sepanjang frasa “tidak menimbulkan penyakit, berhalangan kerja dan aktivitas sehari-hari.”
Demikian juga persoalan dalam penanganan KDRT apabila perkawinan tidak dicatatkan. Dalam praktik, FPL menemukan adanya perbedaan penerapan hukum, antara UU PKDRT atau Pasal 351 KUHP. Penafisran terkait penelantaran rumah tangga juga masih menjadi persoalan.
“Untuk menerjemahkan pasal ini, kepolisian merujuk ke perjanjian nikah, yang antara lain mengatur batas waktu tiga bulan,” ungkap Mazumah.
Sementara, terdapat kasus penelantaran rumah tangga di mana suami tidak menafkahi secara berturut-turut dan tidak dalam jumlah yang memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Persoalan saling lapor juga masih menjadi tantangan.
“Biasanya kasus korban lama sekali proses hukumnya, sementara jika suami (yang melapor) malah cepat,” jelas Mazumah.
Selain itu, dalam banyak kasus, FPL mencatat bahwa suami tidak mencabut laporan. Berbeda jika istri yang melapor, seringkali mencabut laporan atas berbagai pertimbangan, misalnya memikirkan nafkah anak.(Yudha Krastawan)