Pada prinsipnya, pemerintah merancang sistem pengukuran dan ambang batas produksi emisi karbon dalam satu kegiatan usaha. Bagi perusahaan/badan usaha yang terbukti menghasilkan emisi karbon di atas ambang batas, akan dikenai sanksi. Sedangkan bagi yang berhasil menghasilkan emisi karbon di bawah ambang batas, maka terdapat kredit karbon dalam usaha tersebut. Kredit karbon merupakan selisih antara ambang batas dengan emisi karbon yang dihasilkan. Kredit karbon ini kemudian diverifikasi dan diuji, hingga berhak mendapatkan sertifikat yang menjelaskan bahwa usaha tersebut menghasilkan emisi karbon lebih sedikit.
“Bagi perusahaan yang memproduksi emisi karbon di atas ambang batas, maka dia harus membeli atau memberikan insentif bagi usaha yang tersertifikasi ini tadi. Lalu muncul pertanyaan, kalau begitu dia bisa tetap produksi emisi karbon berlebih hanya dengan memberi insentif ke usaha lain? Bukan begitu, jadi ada batasan tertentu sampai mana perusahaan ini bisa terus membeli. Karena tujuannya adalah, supaya perusahaan yang memproduksi emisi berlebih ini bisa mencontoh dan mempraktikan dari usaha yang rendah produksi emisinya,” ucap Poppy. Upaya kebijakan jual beli emisi karbon ini dinilai tidak hanya mendorong industri untuk memberlakukan pengurangan emisi karbon, namun juga membuka peluang yang luas untuk investasi.