IPOL.ID – Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana menyetujui enam permohonan penghentian proses penuntutan berdasarkan Restorative Justice (RJ). Keenam permohonan tersebut disetujui hanya dalam tempo sehari.
“Jampidum pun langsung memerintahkan kepada para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2),” ujar Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana di Jakarta, Selasa (19/12).
Adapun keenam tersangka yang disetujui permohonan RJ-nya itu di antaranya:
1. Tersangka Muhammad Paisal bin Sarnuni dari Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Tengah, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
2. Tersangka Fahriadi alias Garandong bin M. Talhah (Alm) dari Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Tengah, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
3. Tersangka Ni Ketut Mareta Anastasya dari Kejaksaan Negeri Bangli, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
4. Tersangka Shandi Kurnia Pratama bin Alfikri dari Kejaksaan Negeri Ogan Komering Ulu, yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-1, ke-4 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan Jo Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
5. Tersangka Pendi bin (Alm) Welas dari Kejaksaan Negeri Ogan Komering Ulu, yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.
6. Tersangka Agustinus bin Suwarno dari Kejaksaan Negeri Lampung Tengah, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) dan (2) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Kapuspenkum Ketut Sumedana mengungkapkan pemberian RJ terhadap keenam tersangka itu bukan tanpa alasan. Alasannya di antaranya telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf. Tersangka juga belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan perbuatan pidana.
“Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun,” ujar Sumedana.
Tak hanya itu tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya dan perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
“Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar,” tutup Sumedana seraya pihaknya juga mempertimbangkan faktor sosiologis dan masyarakat merespon positif dalam menyetujui permohonan restorative justice.(Yudha Krastawan)