IPOL.ID – Kejaksaan Agung menyetujui empat permohonan penghentian proses penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice).
Keempat permohonan tersebut disetujui setelah melalui gelar perkara atau ekspose yang dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana.
Adapun keempat berkas perkara yang dihentikan proses penuntutannya yaitu atas nama tersangka Deden H Mamula dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo yang disangka melanggar Pasal 312 Jo Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Kedua, tersangka Fickri Fajar bin Gustiardi dari Kejaksaan Negeri Bintan yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (2) KUHP Subsidair Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Ketiga, tersangka Ati Srikandi Wulaningsih binti Aziz Ashari dari Kejaksaan Negeri Tanggamus yang disangka melanggar Pasal 378 KUHP tentang Penipuan atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
Keempat, Ahmad Syaifullah bin Sudirman dari Kejaksaan Negeri Lampung Barat yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.
Adapun alasan pemberian penghentian penuntutan adalah para tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana/belum pernah dihukum. Ancaman pidana denda atau penjara pun tidak lebih dari lima tahun.
Telah dilaksanakan juga proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.
Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya. Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi.
“Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar,” kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana seperti dikutip Sabtu (20/1/2024).
Sebagai informasi, pijakan hukum jaksa dalam melaksanakan keadilan restoratif (restorative justice) tertuang dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022.
Atas pijakan hukum tersebut, para Kepala Kejaksaan Negeri dapat menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice.(Yudha Krastawan)