IPOL.ID – Sepuluh tahun sudah berlalu masa Pemerintahan era Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Setelah menjabat sebagai pemimpin negara Indonesia dalam 2 periode berturut-turut, telah banyak produk kebijakan dikeluarkan dalam mendukung upaya pengendalian rokok di Indonesia.
Hal ini berkaca kembali pada komitmen Presiden Jokowi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan membangun Sumber Daya Manusia (SDM) unggul di Indonesia.
Sayangnya, tantangan utama dalam menjalankan komitmen itu adalah masifikasi perilaku hidup tak sehat, seperti kebiasaan merokok, dibiarkan absennya penegakan aturan belum optimal di lapangan dan komitmen pemerintah belum satu visi.
Berdasar hasil studi dilakukan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) berjudul ‘Dinamika Kebijakan Pengendalian Rokok di Indonesia: Evaluasi era Presiden Joko Widodo Tahun 2014-2024’, kebijakan pengendalian rokok ditetapkan selama era Presiden Jokowi menghadapi banyak dinamika dan belum sepenuhnya efektif dalam menekan prevalensi merokok, khususnya di kalangan anak-anak dan remaja.
Meski ada terobosan positif terbaru diundangkan, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Studi ini menemukan bahwa penerapan dan pengawasan kebijakan pengendalian rokok, baik di level nasional dan di berbagai daerah masih memiliki banyak catatan.
“Ketimpangan dalam penegakan hukum serta lemahnya sanksi bagi pelanggar jadi kendala utama harus segera diatasi. Kebijakan pengendalian rokok telah diterapkan masih perlu terus diperkuat dan disempurnakan. Evaluasi berkelanjutan terhadap kebijakan yang ada merupakan bagian penting proses demokrasi, memastikan bahwa kebijakan ini efektif sesuai kebutuhan masyarakat,” tutur Aryana Satrya, Ketua dan Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), dalam paparan hasil studi.
Aryana menambahkan, beberapa poin penting lainnya, di antaranya, berdasar analisis Grafik Treemap, evaluasi dan efektivitas aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan kebijakan cukai merupakan isu paling banyak dibahas informan. Lalu, inovasi upaya pengendalian rokok paling diharapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Kemudian pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait pengendalian rokok selama sepuluh tahun terakhir (2014-2024), namun kebijakan-kebijakan dalam instrumen MPOWER masih belum optimal. Kenaikan cukai setiap tahun belum agresif menekan angka prevalensi perokok.
Lalu inovasi kebijakan pengendalian rokok rentan sulit diwujudkan. Karena hanya sedikit kementerian secara aktif dan optimis untuk merealisasikannya, sehingga masih memerlukan political will kuat dari Presiden, kementerian/lembaga terkait, dan pemerintah daerah.
Tantangan eksternal terbesar kebijakan pengendalian rokok, yaitu masih ada campur tangan industri melalui lobi politik dan bantuan Corporate Social Responsibility (CSR) kepada daerah.
Skor Tobacco Industry Interference (TII) index di Indonesia masih 84, tergolong tinggi menurut laporan Global Tobacco Interference.
Hasil evaluasi kebijakan dan banyaknya tantangan dihadapi, harmonisasi antara kementerian/lembaga di pemerintahan selanjutnya diharapkan dapat memperkuat implementasi, penegakan, dan pengawasan dari aturan telah ada. Baik PP No. 28 Tahun 2024 maupun aturan terkait lainnya, untuk melindungi hak kesehatan masyarakat dan mewujudkan generasi unggul masa mendatang.
Hasil studi ini ditanggapi pertama oleh Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, sekaligus mewakili Organisasi Masyarakat Sipil.
“Dalam dimensi kacamata saya, sebenarnya ini bisa disimpulkan bahwa kebijakan pengendalian rokok di era Presiden Jokowi masih menoreh catatan merah. Walau ada kebijakan kenaikan cukai, tapi cukai masih berada pada aspek normatif, belum signifikan mengendalikan konsumsi rokok,” imbuh Tulus, Rabu (28/8/2024).
Selama 10 tahun terakhir ini, Presiden Jokowi dinilai memiliki relasi kuat dengan industri rokok. Terbukti banyaknya pembukaan pabrik rokok baru di era pemerintahannya, padahal dampaknya juga harus diukur.
Tulus menegaskan, agar implementasi PP Kesehatan 28/2024 jangan sampai hanya menjadi ‘macan ompong’, apalagi terulang seperti kegagalan di PP No 109 Tahun 2012.
“Saya bakal terus terang bahwa studi ini menunjukkan kebijakan pengendalian rokok era Presiden Jokowi masih jauh dari kata berhasil. Seharusnya disampaikan tajam kalau ini sudah darurat, kondisi SOS. Pemerintah tugasnya melindungi masyarakat. Bayangkan 60% rakyat Indonesia, pengeluarannya di bawah Rp35 ribu per hari. Sedang sigaret kretek jadi pengeluaran nomor 2 terbesar banyak dikonsumsi masyarakat miskin. Terlihat kalau belum ada perlindungan menyeluruh,” tambah Faisal Basri, Pakar Pemerhati Pengendalian Rokok.
Dia mengkritisi kendala terbesar saat ini faktor politik. Negara jangan sampai mau dikooptasi industri rokok, termasuk lobi politik industri rokok harus dibersihkan, dan Undang-Undang Kesehatan harus diberi otoritas lebih keras untuk mengatur.
Menutup tanggapannya, memberi harapan di era pemerintahan baru nanti, yaitu Presiden terpilih 2024 Prabowo, agar lebih tegas dan jangan mau berkompromi atau satu meja dengan industri rokok.
Kritik tegas tadi langsung ditanggapi Arief Rosyid, Komandan Tim Kampanye Nasional Pemilih Muda (TKN Fanta) Prabowo-Gibran.
“Banyak hal perlu diintrospeksi di era kepemimpinan sebelumnya, yang belum optimal harus diperbaiki bersama. Di era keberlanjutan ini, komitmen Prabowo-Gibran memastikan SDM di Indonesia jadi lebih baik, salah satunya mengawal implementasi, segera mungkin mengeksekusi PP Kesehatan No. 28 Tahun 2024. Dari salah satu Asta Cita Prabowo-Gibran menegaskan keberpihakan terhadap kesehatan, generasi unggul, sehat, produktif, dan partisipatif sesuatu tak dapat ditawar,” imbuh Arief.
Arief memastikan bahwa aturan tertulis seperti larangan penjualan rokok batangan, zonasi minimal 200 meter dari satuan pendidikan, larangan iklan di media sosial, implementasi Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (KTR), dan sebagainya dalam PP 28/2024 tak berakhir sebagai lip service saja. Tapi bisa dikawal bersama agar terlaksana komitmen baik.
Berbicara lebih dalam mengenai PP Kesehatan 28/2024, dr. Benget Saragih, M. Epid, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau, Kementerian Kesehatan RI menanggapi.
“Studi ini menampilkan realita, memang masih menjadi tantangan dan butuh kerja sama kementerian dan lembaga upaya pengendalian rokok lebih baik. Rekomendasi diberikan dari studi ini sudah dimasukkan dalam Rencana Peraturan Presiden tentang Pengelolaan Kesehatan,” tegas Benget.
Benget menambahkan bahwa PP 28/2024 ini membawa optimisme baru dibanding PP 109/2012.
“Dalam konteks pengendalian rokok jadi tugas utama Presiden harus memimpin, tak bisa semata-mata bertumpu pada Kementerian Kesehatan saja,” tukas Sunu Dyantoro, Aliansi Jurnalis Independen Jakarta, memberi tanggapan dari perspektif media.
Dinilainya, pimpinan tertinggi harus bertanggung jawab lebih banyak atas hak perlindungan kesehatan publik. Diikuti kementerian-kementeriannya.
Dari sisi fiskal, Analisis Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI, Sarno mengatakan, pengendalian konsumsi rokok memerlukan aspek fiskal. Hanya saja ini membutuhkan kombinasi antara kebijakan fiskal (cukai dan harga) serta kebijakan non fiskal.
“Karena cukai tak dapat berdiri sendiri. Di sisi lain, kita sudah menaikkan batas harga jual eceran. Kompleksitas strata tarif cukai, kita berusaha melakukan penyederhanaan, perlahan setiap tahun, sambil kita coba terus melihat evaluasi di lapangan,” ujar Sarno.
Melanjuti sisi non fiskal, Renova Siahaan, Perencana Madya Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, ikut mempertegas kembali.
“Di balik angka 7,4% pada data SKI 2023, masih menyisakan banyak tantangan. Walau sebenarnya sudah ada banyak progres, baik dari sisi fiskal dan non fiskal, upaya kita belum berhasil. Tentu saja ini akan menjadi komitmen pemerintah, sejalan visi misi Presiden terpilih untuk mewujudkan SDM berdaya saing, maka indikator merokok harus terus kita sesuaikan antara RPJMN nanti dengan PP Kesehatan No 28 Tahun 2024,” jelas Renova.
Netty Prasetiyani, Anggota Komisi IX, Dewan Perwakilan Rakyat, mengamini bahwa poin utama dalam upaya
pengendalian rokok adalah pada tataran implementasi.
Netty mengungkapkan, perlu keseriusan dari seluruh pemangku kepentingan agar benar-benar memastikan kebijakan pengendalian rokok ini berjalan baik. Aspek pengawasan dan penindakan juga belum maksimal diterapkan.
“Pengendalian rokok jadi hal urgent, merupakan PR besar bagi pemerintah, khususnya presiden terpilih, karena penyakit akibat perilaku merokok memakan biaya kesehatan paling besar,” beber Netty.
Adanya hasil studi evaluasi terhadap kebijakan pengendalian rokok selama 10 tahun terakhir ini, diharapkan dapat menjadi refleksi perbaikan dan penguatan dalam implementasi aturan pengendalian rokok di bawah kepemimpinan Presiden terpilih.
Masyarakat menantikan komitmen dan keberpihakan pemerintah selanjutnya. Baik dalam melindungi dan meningkatkan derajat kesehatan. Termasuk ‘menutup pintu’ dari segala bentuk intervensi industri. (Joesvicar Iqbal)