IPOL.ID – Kasus dugaan korupsi proyek Gedung IPDN Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan, tahun 2011 terus didalami penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hari ini, Senin (17/1), penyidik memanggil Direktur Utama (Dirut) PT Waskita Karya, Destiawan Soewardjono; Dirut PT Adhi Karya, Entus Asnawi Mukhson; dan Dirut PT Hutama Karya, Budi Harto.
“Saksi tindak pidana korupsi (TPK) pengadaan dan pelaksanaan pekerjaan pembangunan gedung kampus IPDN Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan pada Kemendagri Tahun Anggaran 2011,” kata Pelaksnaa Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan, Senin (17/1).
Pada kesempatan itu, KPK juga memanggil Direktur Keuangan PT Waskita Karya, Taufik Hendra Kusuma; Direktur Keuangan PT Adhi Karya, AAG Agung Darmawan; dan Direktur Keuangan PT Hutama Karya, Hilda Savitri. “Para saksi akan diperiksa hari ini di Gedung Merah Putih KPK,” jelas Ali.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Kepala Divisi I PT Waskita Karya tahun 2008-2012, Adi Wibowo sebagai tersangka pada 2018 lalu. Namun yang bersangkutan baru ditahan oleh lembaga antirasuah pada Selasa (11/1) lalu.
Selain Adi, KPK juga menetapkan dua tersangka lain yakni, Pejabat Pembuat Komitmen Pusat Administrasi Keuangan dan Pengelolaan Aset Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri (AKPA), Duddy Jocom dan Kepala Divisi Konstruksi VI PT Adhi Karya, Dono Purwoko.
Terkait konstruksi perkara, Kementerian Dalam Negeri pada 2011 lalu telah merencanakan empat paket pekerjaan pembangunan gedung Kampus IPDN. Di antaranya gedung Kampus IPDN Gowa, Sulawesi Selatan dengan nilai kontrak sebesar Rp125 miliar.
“Agar bisa mendapatkan proyek tersebut, tersangka AW diduga melakukan pengaturan bagi calon pemenang lelang di antaranya dengan meminta pihak kontraktor lain mengajukan penawaran diatas nilai proyek PT WK (Waskita Karya),” papar Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron dalam jumpa pers, Selasa (11/1) lalu.
Selain itu, AW juga menyusun dokumen kontraktor lain sedemikian rupa sehingga tidak memenuhi persyaratan dan nantinya mempermudah PT WK dimenangkan.
Agar pembayaran bisa dilakukan 100 persen, AW kembali diduga memalsukan progres pekerjaan hingga mencapai 100 persen dimana fakta di lapangan hanya mencapai progres 70 persen serta adanya pencantuman perubahan besaran denda yang lebih ringan dalam kontrak pekerjaan.
Selain itu, AW juga diduga menyetujui pemberian sejumlah uang maupun barang bagi PPK maupun pihak-pihak lain di Kemendagri.
“Akibat perbuatan tersangka, diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan
negara sekitar sejumlah Rp27 miliar dari nilai kontrak sebesar Rp125 miliar,” ujar Ghufron.
Atas perbuatannya, tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(ydh)