IPOL.ID – Siapa yang tak kenal sushi? Makanan mentah berprotein tinggi khas Jepang ini telah dikenal di sleuruh dunia. Bahan utamanya daging dan tentu saja ikan. Nah salah satu sushiyang jadi primadona adalah unagi. Unagi sendiri adalah Ikan sidat, -mirip seperti belut- yang nyatanya Indonesia merupakan produsen utama ekspor sidat ke Jepang. Bisa dikatakan sidat menjadi primadona komoditas perikanan di beberapa wilayah Indonesia.
Nah, lantas apa menariknya Ikan Sidat? Ikan sidat (Anguilla Spp.) memiliki fase hidup dan habitat yang berubah-ubah. Hal ini menjadikan risiko menurunnya populasi sidat menjadi lebih tinggi. Maka pemanfaatannya perlu diatur agar tetap lestari.
Melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 80 tahun 2020, menetapkan perlindungan Ikan Sidat dengan status perlindungan terbatas berdasarkan periode waktu tertentu dan ukuran tertentu.
Dari Air Tawar ke Air Laut
Kepala Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air (PRLSDA), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Hidayat, menekankan pentingnya ekosistem sungai sebagai habitat ikan migrasi perlu diperhatikan, salah satunya bagi Ikan Sidat.
Saat ini pembangunan infrastruktur sungai, misalnya bendungan menjadi hambatan migrasi bagi Ikan Sidat. Tak hanya itu, kondisi perairan dan lingkungan yang rusak juga menjadi tantangan lain yang perlu mendapat perhatian untuk menjaga kelangsungan hidup ikan migrasi, terangnya.
Triyanto, Peneliti PRLSDA BRIN menjelaskan Ikan sidat merupakan ikan katadromous. Ikan ini bermigrasi ke perairan laut untuk bereprodukasi. Ikan Sidat adalah komoditas yang sangat potensial bagi Indonesia sebagai sumber devisa, penunjang perekonomian masyarakat dan menjadi sumber daya kehati yang perlu perhatian khusus.
Keberhasilan migrasi Sidat sangat penting. Apalagi saat ini ketersediaan data dan informasi terkait terganggunya jalur migrasi sidat tropis di Indonesia masih sangat terbatas. Halangan pada jalur migrasi ikan perlu mendapat perhatian dari seluruh elemen masyarakat, karena kelangsungan hidup ikan migrasi menjadi tanggung jawab bersama, ungkap Triyanto.
Triyanto menambahkan, untuk menjaga keberlangsungan hidup Sidat diperlukan alat tangkap yang sesuai. Benih sidat atau dikenal dengan glass eel harus hidup dalam habitat yang sehat. Tak hanya itu, Triyanto juga mengingatkan pentingnya konektivitas sungai atau dukungan ekosistem air mengalir (lotic ecosystem) bagi Sidat, karena habitat tersebut sebagai sumber makanan, ketersediaan habitat, siklus nutrisi dan sebagai persediaan air.
Pemasangan Tagging
Terkait upaya pemantauan keberlangsungan hidup Sidat, Rahmi Dina, Peneliti PRLSDA BRIN punya solusi. Rahmi menjelaskan untuk memantau pola migrasi, pertumbuhan, kelimpahan, dan angka kematian Sidat dapat dilakukan dengan pemasangan tanda identitas (tagging) pada individu ikan tertentu, termasuk pada Sidat.
Metode pemasangan tagging dapat dilakukan secara internal dan eksternal. Tagging internal dimasukkan ke dalam tubuh, sedangkan eksternal dipasang di luar tubuh. Dalam tagging tersebut terdapat informasi nomor, lokasi, waktu dan ukuran ikan. Dengan tagging kita dapat memantau pergerakan ikan, sehingga upaya kita untuk menjaga keberlangsunga hidup Sidat dapat tercapai, ujar Rahmi.
Dalam sarasehan ini, Luki Subehi Peneliti PRLSDA sekaligus Ketua Masyarakat Limnologi Indonesia (MLI) mengharapkan momentum perayaan global Hari Migrasi Ikan dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya keberadaan ikan migrasi dan sungai yang mengalir sebagai ekosistemnya.
Saya berharap kegiatan Sarasehan MLI Mengenal Ikan Sidat sebagai Ikan Migrasi dan Ekosistem Sungai sebagai Habitat dan Jalur Migrasi Sidat dapat memberikan manfaat besar bagi kelestarian ikan migrasi seperti Sidat.
Banyak Rintangan
Ikan sidat sendiri sudah mulai terancam punah, terutama di Danau Limboto, Provinsi Gorontalo. Siklus hidup dan sistem reproduksi sidat sangat bergantung pada kondisi perairan yang memungkinkan ikan ini bisa berpindah tempat dari perairan tawar ke laut dan sebaliknya.
Profesor riset Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Krismono mengatakan, bila tak ada saluran air yang menghubungkan secara langsung antara danau dan sungai ke laut untuk ruaya ikan sidat, Danau Limboto akan kehilangan ikan sidat.
Menurutnya jalan air (ikan) yang dikenal dengan istilah fish way secara fisik dapat sebagai penahan dan penampung air dengan sistem buka-tutup. “Tetapi secara biologis untuk ikan-ikan yang migrasi belum tentu sesuai, harus diteliti efektivitasnya,” kata Prof Krismono dikutip dari darilaut.id.
Krismono dan tim KKP, telah melakukan penelitian bertahun-tahun di Danau Limboto. Selain hasil penelitian, telah diterbitkan dua buku tentang kondisi Danau Limboto.
Tahun ini, Juni 2019, Prof Krismono dan tim menerbitkan lagi buku dengan judul “Status Terkini Ekologi dan Perikanan di Danau Limboto.” Editor buku ini Dr Sigid Hariyadi dan Dr Joni Haryadi D.
Selain sidat dalam bahasa lokal Gorontalo disebut sogili, ikan yang migrasi dari Danau Limboto ke laut yakni belanak (Mugil sp.) dan pepetek.
Adapun jenis ikan di Danau Limboto, antara lain: Payangga (Ophieleotris aporos), Manggabai (Glossogobius giuris), Dumbaya/Betok (Anabas testudineus).
Ikan introduksi di Danau Limboto seperti Nila (Oreochromis niloticus), Mujair (Oreochromis mosambicus), Saribu/Sepat (Trichogaster pectoralis) dan Gabus (Chana striata). Terdapat pula udang kecil (Palaemon sp), Tawes (Barbonymus gonionotus), Sepat (Trichogaster pectoralis) dan kepiting. (timur)