Oleh : Dr. Ardi Wirdamulia
Kepala BadiklatDA Partai Demokrat Jakarta
IPOL.ID – Kami di Demokrat percaya betul bahwa negeri ini perlu perubahan dan perbaikan. Dan yang paling penting untuk diubah adalah keadilan sosial. Ada 2 pilar penting dalam keadilan sosial yaitu keadilan ekonomi dan keadilan dalam penegakan hukum. Keduanya saat ini makin timpang. Artikel ini hanya membahas tentang keadilan ekonomi.
Ketimpangan daerah dan pusat sudah menjadi isu yang mengemuka. Apa lagi bagi daerah yang memiliki sumberdaya alam besar namun tidak memperoleh kegiatan ekonomi yang cukup untuk memakmurkan warga di daerahnya. Kasus bupati Meranti yang masih ramai dibicarakan itu hanyalah puncak dari gunung es dari banyaknya problem yang ada. Ini tantangan besar yang harus diatasi.
Reformasi 1998 sebenarnya telah mengamanatkan desentralisasi sebagai antitesis dari Orde Baru yang sentralistik dan Jawa sentris. Desentralisasi ini dipandang sebagai pilar penting dalam pemerataan ekonomi daerah versus pusat.
UU no 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah itu merupakan mile stone penting dalam proses desentralisasi. Otonomi Daerah ini kemudian dioperasionalkan melalui UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Konsekuensi dari UU ini adalah pemilihan kepala daerah secara langsung yang pertama kali dilakukan pada jaman SBY di tahun 2005.
Konsistensi terhadap gagasan besar desentralisasi ini selama era SBY ini dibuktikan dengan bertambahnya jumlah kota/kabupaten atau daerah daerah otonom. Melalui cara pandang desentralisasi, di era SBY juga tidak ada gejolak besar di Papua. Bahkan Acehpun berhasil didamaikan. Sehingga ketakutan bahwa desentralisasi membawa pada separasi itu ternyata tidak terbukti.
Dalam kondisi utang/PDB yang ditinggal oleh pemerintahan sebelumnya sebesar 56.5% dan PDB yang hanya 2.3 T, masuk akal jika pemerintahan SBY sibuk menggenjot pertumbuhan. Di akhir masa jabatannya, SBY meninggalkan rasio utang/PDB 24.7 persen dan PDB sebesar 10.5 T. Suatu peningkatan yang nyata dari sisi perekonomian.
Dengan warisan ekonomi yang kuat, pemerintahan Jokowi harusnya bisa fokus pada pemerataan kegiatan ekonomi. Utamanya antara pusat dan daerah. Tapi dalam hal ini ternyata berlaku business as usual. Pada RAPBN 2014 di akhir era SBY, alokasi transfer ke daerah itu sebesar 32 persen atau 586.4 T dari 1816.7 T keseluruhan rencana belanja. Pada RAPBN 2023 angka itu justru turun menjadi 27 persen atau 814.7 T dari 3061.2 T.
Saya tahu Jokowi bukannya tidak ingin untuk membuat kegiatan ekonomi yang lebih merata antara Jawa dan Luar Jawa. Usaha telah dilakukan. Namun cara pikir dan lakunya keliru. Karena dalam pola pikirnya, pusat merasa lebih mampu dari daerah untuk membangun. Proporsi anggaran 27 persen ke daerah dan 73 persen pusat dalam APBN ini adalah indikator yang nyata.
Itu baru dari sisi proporsi anggaran. Kebijakan untuk menarik investasipun lebih di dominasi oleh pemerintah pusat. Mulai dari kebijakan tax amnesty, tax holiday bahkan dengan pembuatan UU Cipta Kerja yang semakin sentralistik. Ada yang harus diubah dan diperbaiki di sini.
Karena, kalau kita lihat dari segi pembagian urusan pemerintahan di UU no 23 tahun 2014, kuasa absolut pemerintahan pusat itu hanya di 6 perkara. Politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Yang lain itu konkuren dan umum.
Urusan konkuren ini adalah pelayanan publik baik yang dasar atau pun tidak. Meliputi aspek aspek pembangunan lainnya seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perumahan, ketertiban, perlindungan sosial, dlsb. Ini yg dicerminkan melalui kementrian kementrian yang ada.
Urusan konkuren ini dalam undang undang dibagi antara pusat dan daerah. Ada pembagian wewenang tapi yang paling gampang dilihat adalah dana/anggaran. 73 persen vs 27 persen adalah indikator dari cara pandang hari ini. Pusat menganggap diri lebih bisa kerja jadi perlu mendapat anggaran yang lebih besar. Jauh lebih besar.
Padahal dasar pembagian urusan pemerintahan konkuren itu adalah akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas dan strategi nasional. Tiga dari empat kriteria ini ada di sisi daerah tapi ya kalah dengan yang terakhir. Strategi nasionalnya orang pusat.
Dari segi akuntabilitas, jelas daerah lebih memiliki dorongan besar. Mereka cuma ngurusin daerahnya. Ada banjir di Bandung yang diomelin warga ya walikota Bandung. Menteri yang terkait banjir tidak disebut-sebut. Walikotanya yang pusing. Harusnya.
Padahal uang pajak dan sumberdaya orang Bandung yang digunakan untuk mengatasi banjir itu tidak semua dikelola walikota Bandung. Sebagian besar persentase dari pajak dan sumberdaya itu dikelola oleh pusat. Tapi ya begitu. Yang pegang duit lebih banyak malah tidak ditagih. Karena tidak ikut ditagih ya sulit mengharapkan akuntabilitas dari pusat.
Dari sisi efisiensi dan bahkan effectiveness ya makin keliru kalau pusat mengambil sebanyak itu. Perencanaan pembangunan terpusat yang dianggap efisien itu justru menghasilkan banyak pemborosan. Jarak antara kebutuhan warga di daerah dengan program yang disusun oleh pemerintah pusat itu bisa besar sekali. Sudah banyak berita tentang infrastruktur yang dibangun pusat tapi tidak termanfaatkan.
Eksternalitas, utamanya masalah-masalah sosial, itu jelas lebih dipahami oleh orang-orang daerah. Mereka yang mengalami dampak langsungnya. Orang pusat yang tidak hidup di sana ya gampang saja menyetujui pembangunan-pembangunan yang menghasilkan polusi atau kerusakan lingkungan. Tidak hidup di sana.
Soal strategi nasional memang itu domain pusat. Tapi orientasi strategi nasional itu harusnya adalah kesejahteraan masyarakat. Untuk urusan pemerintahan absolut seperti stabilitas nasional memang sudah pada tempatnya dipegang oleh pusat. Tapi jika persoalannya adalah konkuren seperti pertumbuhan dan pemerataan maka daerah harusnya lebih dominan.
Saya tentu tidak berfikir bahwa pusat tidak boleh dibagi untuk urusan konkuren ini. Negara federal seperti Amerika saja pemerintah pusatnya masih punya anggaran untuk infrastruktur, kesehatan dan pendidikan. Juga untuk urusan konkuren lainnya. Tapi ini tentang proporsi yang belum adil.
Dan saya juga mengamini pentingnya pusat punya anggaran besar untuk pemerataan karena banyak daerah yang tidak memiliki kegiatan ekonomi dan sumber daya alam yang cukup. Tapi prinsip pemerataan ini yang harus dipegang. Bukan untuk kemudian malah banyak membangun di daerah daerah yang sudah kaya.
Jika saja pemerintah pusat mau berbagi dengan lebih adil, maka ketimpangan pusat dan daerah ini bisa mengecil. Jarak antara mereka yang mengalokasikan anggaran dengan kebutuhan warga mengecil sehingga kesejahteraan warga akan lebih baik. Kita harus menghargai potensi kapasitas dan kapabilitas daerah untuk membangun daerahnya sendiri. Mereka juga memiliki kearifan lokal yang perlu mendapat tempat dalam pembangunan.
Keadilan anggaran ini adalah diskursus yang kami buka. Jadi, waktu kami bicara soal perbaikan keadilan sosial itu ya kami tidak bermain dengan jargon. Melainkan dengan ide dan gagasan. Tabik. (peri)