Oleh: Bagong Suyoto
Ketua Koalisi Persampahan Nasional
IPOL.ID – Ada sejumlah pakar dan aktivis persampahan menyerukan agar kembali pada UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sebetulnya dimanakah kekeliruannya? UU tersebut sudah berumur 15 tahun.
Argumentasinya, bisa dideskripsikan, bahwa belakangan permasalahan sampah di sejumlah daerah, terutama metropolitan, kota besar, bahkan kota kecil di Indonesia mengalami situasi yang kompleks, rumit bak benang kusut. Banyak ditemui pembuangan sampah liar. TPA ilegal tumbuh bagai penyakit menakutkan. Orang membuang sampah di pinggir jalan, DAS, sungai tanpa rasa malu masih marak.
Sementara gunung sampah semakin banyak ditemui di Pulau Jawa, terutama Jawa bagian barat. Karena konsentasi populasi Indonesia berada di Jawa bagian barat. Ada kota yang berbulan-bulan TPAnya tutup. Mungkin, seperempat penduduk kita ada di wilayah ini. Implikasinya jelas, produksi dan volume sampah sangat banyak. Sampah itu butuh tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Kita masih gunakan istilah “pembuangan”, sebab faktanya bicara.
Jangan sampai Tragedi TPA Leuwigajah, Cimahi Jawa Barat tahun 2005 yang memakan korban ratusan nyawa dan harta benda terulang lagi. Tragedi itu diperingati setiap 21 Februari tiap tahun sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Pada tahun yang sama, disusul TPS Lembang Bandung longsor menelan beberapa nyawa. Kemudian 2006 terjadi Tragedi Bantargebang pada malam Jumat naas, gunung sampah zona III longsor menelan tiga korban nyawa. Juga kasus pasangan suami istri yang mati terurug sampah longsor zona IV TPA Sumurbatu pada 27 Januari 2016. (Bagong Suyoto, Sejarah Kemelut Pengelolaan TPST Bantargebang, 2015).
Rentetan tragedi kemanusiaan memilukan itu menjadi bahan tekanan sangat kuat untuk segera merampungkan dan mengesahkan RUU tentang Pengelolaan Sampah. Setahun kemudian, pada 17 April 2008 RUU tersebut disahkan menjadi UU, selanjutnya dikenal dengan UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Belakangan buka tutup TPA, darurat TPA sudah jadi bacaan sehari-hari. Akibat gunung-gunung sampah semakin tinggi, sebagian longsor menguruk infrastruktur utama dan pendukung. Hal ini menyelimuti derita TPA Burangkeng Kabupaten Bekasi, TPA Cipayung Depok, dll. Sedang yang lain menunggu tumbang. Bom waktu di depan mata.
Untuk menuntaskan persoalan sampah, termasuknya TPA illegal harus melihat kembali Pasal 12, 13. 14. 15, 44 dan 45 UUPS. Hal ini pernah saya tulis dengan judul “Membumikan Paradigma Baru Kelola Sampah: Semua Orang Pilah-Olah Sampah” (Monologus.ID, 18/2/2021). Tulisan ini dalam menyambut Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2021 lalu.
Kita lihat Pasal 11 dan 12 UUPS mengenai Hak dan Kewajiban. Berkenaan dengan kewajiban, Pasal 12 UUPS ayat (1) Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara bertanggungjawab. Ayat (2) mengenai tata cara pengelolaan sampah selanjutnya diatur dalam Perda.
Pasal 13 UUPS menyatakan: Pengelolaan kawasan pemukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya wajib menyediakan fasilitas pemilahan sampah.
Pada fasilitas tertentu seperti perumahan, real estate mestinya wajib menyediakan tempat pemilahan dan pengolahan sampah. Pada umumnya perumahan kota mandiri, misalnya memiliki lahan cukup luas. Mereka sepantasnya diwajibkan punya pengolahan sampah secara mandiri. Sampah mereka harus diselesaikan secara internal.
Bahwa pengelolaan sampah ini berkaitan dengan perizinan. Banyak orang dan komunitas bergiat kelola sampah, tetapi dihambat oleh orang-orang dinas terkait. Pasal 17 UUPS menyatakan: (1) Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha pengelolaan sampah wajib memiliki izin dari kepala daerah sesuai dengan kewenangannya. (2) Izin sebagaimana dimaksud dengan ketentuan yang ditetapkan Pemerintah.
Selanjutnya Pasal 19 sampai 23 UUPS harus diperlajari dan didalami secara cermat. Bahwa, peran pemerintah sangat dominan. Sehingga pengelolaan sampah merupakan domain public. Artinya, pemerintah bertanggungjawab penuh atas pengelolaan sampah. Pemerintah merupakan leading sector, regulator, pengawas, penegak hukum, dll. Peranannya begitu besar sehingga sulit menjalakan kebijakan, peraturan perundangan, penyediaan anggaran, infrastruktur, teknologi pengelolaan sampah.
Peran masyarakat tidak jelas dan sempit. UUPS tersebut sudah waktunya dibongkar dan dievaluasi total. Dari 49 Pasal UUPS, peran masyarakat hanya satu pasal, yakni Pasal 28. Semangat masyarakat untuk ikut serta membenahi pengelolaan sampah sangat besar. Ketika mau tumbuh dihambat dan dihancurkan oleh kekuatan tertentu.
Pemerintah pusat dan daerah sebetulnya sudah paham, bahwa urusan sampah tidak bisa ditangani sendiri. Para birokrat sudah bekerja sekuat tenaga sesuai dengan tugas dan posisinya. Namun, ada beberapa masalah serius ditingkat lapangan. Diantara institusi pemerintah sendiri belum dapat merapatkan koordinasi dan kolaborasi. Masih ada ego sektoral dengan vested interest tertentu. Apalagi membangun kerja sama antara institusi pusat dan daerah.
Ada kelemahan-kelemahan dalam konteks administrasi publik, tata negara, implementasi dan penafsiran kebijakan yang hasilnya memuaskan publik maka dibutuhkan garis komando yang kuat oleh top eksekutif. Perlu spand of control yang pendek dan efektif dalam manajemen sampah. Karena dalam konteks otonomi dan desentralisasi itu sifatnya hanya pendelegasian sebagian wewenang kepada daerah dalam bingkai NKRI. Kita butuh eksekusi cepat dalam menangani sampah di seluruh wilayah NKRI.
Sekarang ini ada semacam pembagian tugas dalam pengelolaan sampah di Indonesia. Pusat menyediakan kebijakan, dan daerah melakukan penanganan secara teknis, seperti pengelolaan sampah dari sumber hingga TPA. Sayangnya, paradigma lama: kumpul-angkut-buang masih lengket.
Implementasi kebijakan butuh anggaran. Bagi daerah yang APBD besar tidak masalah, seperti DKI Jakarta. Namun, daerah-daerah yang APBD-nya kecil akan kesulitan menangani sampahnya. Merupakan dalih berdasar fakta, hal ini diperparah bila wali kota/bupati dan ketua DPRD tidak memprioritas pengelolaan sampah daerahnya.
Meskipun pemerintah pusat telah memberikan berbagai bantuan sarana, teknologi dan dana alokasi khusus (DAK) pada daerah, persoalan tersebut belum teratasi. Maka perlu dievaluasi apa bantuan tersebut sudah digunakan dengan baik. Artinya, kesinambungannya harus bisa dijamin.
Maka perlu penegasan perlunya kembali pada UUPS. Kembalinya pada UUPS tersebut sebetulnya agar pengelolaan sampah dapat dilakukan secara baik dan benar, sesuai prinsip dasar hirarki pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah mulai dari sumber dengan multi-teknologi ramah lingkungan serta melibatkan berbagai elemen masyarakat. Dan, yang terpenting menghindari jatuhnya korban mati sia-sia akibat tergulung dan terurug dahsyatnya sampah longsor dan meledak. (Peri)